Tuesday, March 24, 2009

Surat An-Nisa’, Satu Bukti Islam Memuliakan Wanita

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah?

Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil, 3/6)

Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita.

1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.

Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً

“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)

Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam ‘alaihissalam. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566)

Dalam hadits shahih disebutkan:

إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ

“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299)

2. Dijaganya hak perempuan yatim.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا

“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)

Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Wahai anak saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ

“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain:

وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

“Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)

Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444)

Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ عِنْدَ الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي ماَلِهِ، فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ.

“Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)

3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3)

Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”

Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)

Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.

4. Hak memperoleh mahar dalam pernikahan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)

5. Wanita diberikan bagian dari harta warisan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)

Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا

“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)

Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)

Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:

يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ

“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)

Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160)

6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)

7. Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)

Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ (”Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.”

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58)

8. Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا. وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

“Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 20-21)

9. Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena penyusuan untuk menikahinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ

“Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23)

Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

“(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23)

Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufik.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Footnote:

1 Karena ibu ‘Urwah, Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma adalah saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha.
2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.

(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 38/1429H/2008, Kategori: Niswah, hal. 80-85. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=617

Pernikahan Mengarahkan Wanita Kepada Islam

Sebagian wanita Jepang memeluk Islam karena pernikahan. Tapi umumnya, mereka tertarik kepada Islam karena menginginkan adanya kebebasan dan Islam memberi mereka kemerdekaan

Hidayatullah.com–“Aysha” Abid Choudry adalah nama yang dipilihnya sejak Harumi memutuskan untuk memeluk Islam 4 tahun silam. Ia memeluk Islam pada usia 26 tahun, ketika wanita Jepang ini menikah dengan seorang lelaki asal Pakistan.

Dua tahun kemudian, sama seperti wanita Jepang lain yang menikah dengan lelaki Muslim yang tinggal di Jepang. Sejak itulah Harumi mempelajari Islam. Dari apa yang sudah dia pelajari, Harumi mengetahui bahwa Islam artinya memiliki hubungan personal dengan Allah SWT. Dia beribadah menurut tata cara Islam untuk pertama kalinya. Suaminya sendiri tidak pernah memaksanya untuk buru-buru mengamalkan ajaran Islam namun setiap saat berdoa agar Harumi dibukakan pintu hatinya.

Islam memang sangat asing di Jepang, namun telah menarik perhatian banyak wanita muda Jepang. Diantara mereka banyak yang masuk Islam setelah menikah dengan para lelaki Muslim yang datang ke Jepang untuk bekerja. Mereka umumnya berasal dari Iran, Bangladesh, Pakistan dan Malaysia.

Hukum Islam memerintahkan barangsiapa yang bermaksud untuk menikah dengan orang Muslim maka dia harus masuk Islam dulu, kata R.Siddiqi, Direktur Islamic Center Jepang.

Sebuah pusat aktivitas Islam di Tokyo, Islamic Center di Setagay-ku tiap tahun menerima pendaftaran lebih dari 80 anggota baru, mayoritas wanita Jepang. Meskipun beberapa wanita Jepang masuk Islam tanpa jalur pernikahan, banyak juga wanita Jepang yang masuk Islam karena jalur pernikahan.

Islamic Center melaporkan, bahwa tiap tahun ada 40 pernikahan antara orang Muslim yang berasal dari luar Jepang dengan wanita Jepang.

“Wanita tertarik kepada Islam karena mereka menginginkan kebebasan. Islam memberi mereka kemerdekaan sebab mereka tidak akan menjadi budak lelaki manapun. Islam melawan agresi moral yang menyerang wanita. Kesucian dan kehormatan wanita dilindungi. Islam melarang hubungan haramm/gelap. Semua ini menarik perhatian para wanita Jepang,” kata Siddiqi.

Hukum Islam juga memberikan aturan bahwa lelaki boleh memiliki istri lebih dari satu. “Kami telah menjelaskan berulang kali bahwa menikah empat kali diizinkan hanya pada situasi darurat seperti impotensi, tidak bisa punya anak dll. Sebagai kesimpulan tidak ada pelacuran dalam Islam. Jika lelaki menginginkan wanita lain, maka nikahilah dia dan rawat anak-anaknya,” tambah Siddiqi. Hukum Islam juga memberikan aturan bahwa lelaki boleh memiliki istri lebih dari satu. “Kami telah menjelaskan berulang kali bahwa menikah empat kali diizinkan hanya pada situasi darurat seperti impotensi, tidak bisa punya anak dll. Sebagai kesimpulan tidak ada pelacuran dalam Islam. Jika lelaki menginginkan wanita lain, maka nikahilah dia dan rawat anak-anaknya,” tambah Siddiqi.

Jika ditanya mengapa wanita tidak boleh memiliki lebih dari satu suami, Siddiqi menjelaskan, “Karena si wanita tidak akan bisa memutuskan anak siapa yang dikandungnya. Hal ini akan membingungkannya.”

Sekarang ini perkembangan Islam di Jepang menunjukkan grafik yang terus naik seiring dengan makin globalnya dunia. Jepang terbuka untuk siapa saja, termasuk orang Muslim. [Kartika, diolah dari tulisan Lynne Y. Nakano berjudul “Marriages lead women into Islam in Japan”]

http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3542&Itemid=62

Monday, March 23, 2009

Jauhi Buruk Sangka

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Berbagai prasangka buruk terhadap orang lain sering kali bersemayam di hati kita. Sebagian besarnya, tuduhan itu tidak dibangun di atas tanda atau bukti yang cukup. Sehingga yang terjadi adalah asal tuduh kepada saudaranya.

Buruk sangka kepada orang lain atau yang dalam bahasa Arabnya disebut su`u zhan mungkin biasa atau bahkan sering hinggap di hati kita. Berbagai prasangka terlintas di pikiran kita, si A begini, si B begitu, si C demikian, si D demikian dan demikian. Yang parahnya, terkadang persangkaan kita tiada berdasar dan tidak beralasan. Memang semata-mata sifat kita suka curiga dan penuh sangka kepada orang lain, lalu kita membiarkan zhan tersebut bersemayam di dalam hati. Bahkan kita membicarakan serta menyampaikannya kepada orang lain. Padahal su`u zhan kepada sesama kaum muslimin tanpa ada alasan/bukti merupakan perkara yang terlarang. Demikian jelas ayatnya dalam Al-Qur`anil Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.” (Al-Hujurat: 12)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menjauhi kebanyakan dari prasangka dan tidak mengatakan agar kita menjauhi semua prasangka. Karena memang prasangka yang dibangun di atas suatu qarinah (tanda-tanda yang menunjukkan ke arah tersebut) tidaklah terlarang. Hal itu merupakan tabiat manusia. Bila ia mendapatkan qarinah yang kuat maka timbullah zhannya, apakah zhan yang baik ataupun yang tidak baik. Yang namanya manusia memang mau tidak mau akan tunduk menuruti qarinah yang ada. Yang seperti ini tidak apa-apa. Yang terlarang adalah berprasangka semata-mata tanpa ada qarinah. Inilah zhan yang diperingatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dinyatakan oleh beliau sebagai pembicaraan yang paling dusta. (Syarhu Riyadhis Shalihin, 3/191)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman melarang hamba-hamba-Nya dari banyak persangkaan, yaitu menuduh dan menganggap khianat kepada keluarga, kerabat dan orang lain tidak pada tempatnya. Karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa yang murni, maka jauhilah kebanyakan dari persangkaan tersebut dalam rangka kehati-hatian. Kami meriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, ‘Janganlah sekali-kali engkau berprasangka kecuali kebaikan terhadap satu kata yang keluar dari saudaramu yang mukmin, jika memang engkau dapati kemungkinan kebaikan pada kata tersebut’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/291)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلاَ تَحَسَّسُوْا، وَلاَ تَجَسَّسُوْا، وَلاَ تَنَافَسُوْا، وَلاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهَ إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمْ، الْمُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَهُنَا، التَّقْوَى ههُنَا -يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ- بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ، إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ، وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
“Hati-hati kalian dari persangkaan yang buruk (zhan) karena zhan itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian mencari-cari aurat/cacat/cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai sesuatu. Janganlah kalian saling hasad, saling benci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, maka janganlah ia menzalimi saudaranya, jangan pula tidak memberikan pertolongan/bantuan kepada saudaranya dan jangan merendahkannya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini.” Beliau mengisyaratkan (menunjuk) ke arah dadanya. “Cukuplah seseorang dari kejelekan bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lain, haram darahnya, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh kalian, tidak pula ke rupa kalian akan tetapi ia melihat ke hati-hati dan amalan kalian.” (HR. ِAl-Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482)
Zhan yang disebutkan dalam hadits di atas dan juga di dalam ayat, kata ulama kita, adalah tuhmah (tuduhan). Zhan yang diperingatkan dan dilarang adalah tuhmah tanpa ada sebabnya. Seperti seseorang yang dituduh berbuat fahisyah (zina) atau dituduh minum khamr padahal tidak tampak darinya tanda-tanda yang mengharuskan dilemparkannya tuduhan tersebut kepada dirinya. Dengan demikian, bila tidak ada tanda-tanda yang benar dan sebab yang zahir (tampak), maka haram berzhan yang jelek. Terlebih lagi kepada orang yang keadaannya tertutup dan yang tampak darinya hanyalah kebaikan/keshalihan. Beda halnya dengan seseorang yang terkenal di kalangan manusia sebagai orang yang tidak baik, suka terang-terangan berbuat maksiat, atau melakukan hal-hal yang mendatangkan kecurigaan seperti keluar masuk ke tempat penjualan khamr, berteman dengan para wanita penghibur yang fajir, suka melihat perkara yang haram dan sebagainya. Orang yang keadaannya seperti ini tidaklah terlarang untuk berburuk sangka kepadanya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 16/217, Ruhul Ma’ani 13/219)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dari mayoritas ulama dengan menukilkan dari Al-Mahdawi, bahwa zhan yang buruk terhadap orang yang zahirnya baik tidak dibolehkan. Sebaliknya, tidak berdosa berzhan yang jelek kepada orang yang zahirnya jelek. (Al Jami’ li Ahkamil Qur`an, 16/218)
Karenanya, Ibnu Hubairah Al-Wazir Al-Hanbali berkata, “Demi Allah, tidak halal berbaik sangka kepada orang yang menolak kebenaran, tidak pula kepada orang yang menyelisihi syariat.” (Al-Adabus Syar’iyyah, 1/70)
Dari hadits:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata menjelaskan ucapan Al-Khaththabi tentang zhan yang dilarang dalam hadits ini, “Zhan yang diharamkan adalah zhan yang terus menetap pada diri seseorang, terus mendiami hatinya, bukan zhan yang sekadar terbetik di hati lalu hilang tanpa bersemayam di dalam hati. Karena zhan yang terakhir ini di luar kemampuan seseorang. Sebagaimana yang telah lewat dalam hadits bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memaafkan umat ini dari apa yang terlintas di hatinya selama ia tidak mengucapkannya atau ia bersengaja1.” (Al-Minhaj, 16/335)
Sufyan rahimahullahu berkata, “Zhan yang mendatangkan dosa adalah bila seseorang berzhan dan ia membicarakannya. Bila ia diam/menyimpannya dan tidak membicarakannya maka ia tidak berdosa.”
Dimungkinkan pula, kata Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu, bahwa zhan yang dilarang adalah zhan yang murni /tidak beralasan, tidak dibangun di atas asas dan tidak didukung dengan bukti. (Ikmalul Mu’lim bi Fawa`id Muslim, 8/28)
Kepada seorang muslim yang secara zahir baik agamanya serta menjaga kehormatannya, tidaklah pantas kita berzhan buruk. Bila sampai pada kita berita yang “miring” tentangnya maka tidak ada yang sepantasnya kita lakukan kecuali tetap berbaik sangka kepadanya. Karena itu, tatkala terjadi peristiwa Ifk di masa Nubuwwah, di mana orang-orang munafik menyebarkan fitnah berupa berita dusta bahwa istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, shalihah, dan thahirah (suci dari perbuatan nista) Aisyah radhiyallahu ‘anha berzina, wal’iyadzubillah, dengan sahabat yang mulia Shafwan ibnu Mu’aththal radhiyallahu ‘anhu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar tetap berprasangka baik dan tidak ikut-ikutan dengan munafikin menyebarkan kedustaan tersebut. Dalam Tanzil-Nya, Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَوْلاَ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ
“Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong tersebut, orang-orang mukmin dan mukminah tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri dan mengapa mereka tidak berkata, ‘Ini adalah sebuah berita bohong yang nyata’.” (An-Nur: 12)
Dalam Al-Qur`anul Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela orang-orang Badui yang takut berperang ketika mereka diajak untuk keluar bersama pasukan mujahidin yang dipimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang Badui ini dihinggapi dengan zhan yang jelek.
سَيَقُولُ لَكَ الْمُخَلَّفُونَ مِنَ اْلأَعْرَابِ شَغَلَتْنَا أَمْوَالُنَا وَأَهْلُونَا فَاسْتَغْفِرْ لَنَا يَقُولُونَ بِأَلْسِنَتِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ بِكُمْ ضَرًّا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ نَفْعًا بَلْ كَانَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا. بَلْ ظَنَنْتُمْ أَنْ لَنْ يَنْقَلِبَ الرَّسُولُ وَالْمُؤْمِنُونَ إِلَى أَهْلِيهِمْ أَبَدًا وَزُيِّنَ ذَلِكَ فِي قُلُوبِكُمْ وَظَنَنْتُمْ ظَنَّ السَّوْءِ وَكُنْتُمْ قَوْمًا بُورًا
“Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan, ‘Harta dan keluarga kami telah menyibukkan kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami.’ Mereka mengucapkan dengan lidah mereka apa yang tidak ada di dalam hati mereka. Katakanlah, “Maka siapakah gerangan yang dapat menghalangi-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudaratan bagi kalian atau jika Dia menghendaki manfaat bagi kalian. Bahkan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Tetapi kalian menyangka bahwa Rasul dan orang-orang yang beriman sekali-kali tidak akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan setan telah menjadikan kalian memandang baik dalam hati kalian persangkaan tersebut. Dan kalian telah menyangka dengan sangkaan yang buruk, kalian pun menjadi kaum yang binasa.” (Al-Fath: 11-12)
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Lafadz hadits yang dimaksud adalah:
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِإُمَّتِي مَا حَدَثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَـمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ
“Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terlintas di jiwa mereka selama mereka tidak membicarakan atau melakukannya.” (HR. Bukhari no. 2528 dan Muslim no. 327)

http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1242

Peringatan atas Yahudi akan kehancuran mereka

DAN NASEHAT TERHADAP KAUM MUSLIMIN

Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah

Kepada umat yang dimurkai (Yahudi), yang Allah ‘Azza wa Jalla berfirman tentang mereka :

﴿ فَبَاؤُواْ بِغَضَبٍ عَلَى غَضَبٍ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُّهِينٌ ﴾
Karena itu mereka (Yahudi) mendapat murka di atas kemurkaan (yang mereka dapatkan sebelumnya). Dan untuk orang-orang kafir adzab yang menghinakan. [Al-Baqarah : 90]

Kepada umat yang hina dan rendah, yang telah Allah timpakan kepada mereka kehinaan dan kerendahan akibat kekufuran mereka dan perbuatan mereka membunuh para nabi. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

﴿ ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُواْ إِلاَّ بِحَبْلٍ مِّنْ اللهِ وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ وَبَاؤُوا بِغَضَبٍ مِّنَ اللهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُواْ يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللهِ وَيَقْتُلُونَ الأَنبِيَاء بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوا وَّكَانُواْ يَعْتَدُونَ ﴾
“Telah ditimpakan kepada mereka (Yahudi) kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah serta ditimpakan kepada mereka kerendahan. Yang demikian itu (yakni: ditimpa kehinaan, kerendahan, dan kemurkaan dari Allah) karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu (yakni: kekafiran dan pembunuhan atas para nabi-nabi) disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” [Ali ‘Imran : 112]

Inilah sebagian sifat-sifat kalian yang mengharuskan kalian senantiasa berada dalam kehinaan, kerendahan, dan selalu mendapat kemurkaan dari Allah. Kalian tidak akan pernah bisa tegak dalam kebaikan kecuali dengan berpegang pada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, hingga hari ini dan sampai Hari Kiamat kelak. Kalian tidak memiliki sandaran sejarah keimanan dan aqidah, kalian tidak memiliki sandaran sejarah sifat kejantanan dan keberanian. Kalian hanya berani berperang dari balik tembok, sementara permusuhan (perselisihan) di antara kalian sendiri sangat sengit. Sungguh sifat-sifat keji kalian sangat banyak, diantaranya :
- khianat,

- melanggar,

- menebar fitnah,

- menyalakan api peperangan,

- dan berbuat kerusakan di muka bumi.

Setiap kalian menyalakan api peperangan niscaya Allah memadamkannya. Sungguh sejarah kalian sangat kelam, kondisi dan sifat jelek kalian tersebut sudah sangat dikenal oleh segenap umat.

Terhadap umat yang mendapat murka (Yahudi) tersebut aku katakan - dan ini juga dikatakan oleh setiap muslim yang jujur- :

Janganlah kalian sombong! Janganlah kalian berbuat kejahatan! dan janganlah kalian terpesona dengan apa yang telah kalian peroleh berupa kemenangan yang menipu! Sesungguhnya, demi Allah, kalian tidak akan pernah bisa menang terhadap tentara Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam! dan kalian tidak akan pernah bisa menang terhadap aqidah Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam, aqidah tauhid lâ ilâha illallâh. Kalian tidak akan pernah bisa menang terhadap tentara yang dipimpin oleh Khalid bin Al-Walid, Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah, Sa’d bin Abi Waqqash, ‘Amr bin Al-’Ash, Nu’man bin Muqrin Radhiyallah ‘anhum yang tertarbiyyah (terdidik) di atas aqidah Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan manhaj Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam, yang mereka (para panglima tersebut) mentarbiyah pasukannya di atas aqidah tersebut, memimpin pasukannya untuk meninggikan Kalimatullah. Sungguh kekuatan yang jauh lebih besar dari kekuatan kalian sekarang, seperti tentara Kisra (Persia) dan tentara Kaisar (Romawi), tidak mampu mengalahkan mereka (tentara Nabi Muhammad tersebut),

Kalian tidak akan pernah menang menghadapi pasukan yang demikian kondisinya, demikian kondisi aqidahnya, demikian kondisi manhajnya, dan demikian kondisi tujuannya yaitu dalam rangka meninggikan Kalimatullah. Kalian hanya akan bisa mengalahkan pasukan yang terdiri dari generasi yang telah menyimpang. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

﴿ فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ﴾

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” [Maryam : 59]

Kalian hanya akan bisa mengalahkan pasukan yang mayoritasnya tidak meyakini aqidah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabatnya, tidak meyakini manhaj Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan tentaranya, dan tidak meyakini tujuan yang dulu mereka (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan tentaranya) berjihad karenanya. (Pasukan yang nilainya sekadar) buih itulah yang bisa kalian kalahkan. Disebabkan ketidakberdayaan dan kelemahan pasukan tersebut negara kalian bisa berdiri, kalian bisa tampil di muka bumi, dan kalian bisa menebar kerusakan padanya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
﴿ وَقَضَيْنَا إِلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ فِي الْكِتَابِ لَتُفْسِدُنَّ فِي الأَرْضِ مَرَّتَيْنِ وَلَتَعْلُنَّ عُلُوًّا كَبِيرًا . فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ أُولاهُمَا بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَّنَا أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ فَجَاسُواْ خِلالَ الدِّيَارِ وَكَانَ وَعْدًا مَّفْعُولاً . ثُمَّ رَدَدْنَا لَكُمُ الْكَرَّةَ عَلَيْهِمْ وَأَمْدَدْنَاكُم بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَجَعَلْنَاكُمْ أَكْثَرَ نَفِيرًا . إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لأَنفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الآخِرَةِ لِيَسُوؤُواْ وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُواْ الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُواْ مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا ﴾
“Kami telah tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab (yang telah Allah turunkan pada mereka) itu : “Sesungguhnya kamu pasti akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar”.

Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, pasti Kami datangkan kepada kalian hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka akan menguasai kampung-kampung (kalian) tersebut, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana.

Kemudian Kami berikan kepada kalian giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantu kalian dengan harta kekayaan dan anak-anak, serta Kami jadikan kalian kelompok yang lebih besar.

Jika kalian berbuat baik (berarti) kalian telah berbuat baik untuk diri kalian sendiri, dan jika kalian berbuat jahat, maka (kejahatan) itu untuk diri kalian sendiri. Apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kalian dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuh kalian memasukinya pada kali pertama, dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.” [Al-Isra` : 4-7]

Inilah sejarah perjalan kalian. Demikianlah Allah memperlakukan kalian. Meskipun (kehancuran pertama kalian) tersebut telah berlalu melalui tangan bangsa Majusi, maka bagi kalian akan ada lagi kehancuran yang lebih dahsyat lagi melalui tangan tentara Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tentara Islam sebagaimana telah Allah janjikan untuk kalian karena kehinaan dan kerendahan kalian di hadapannya (tentara Islam). Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

﴿ وَإِنْ عُدتُّمْ عُدْنَا وَجَعَلْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِينَ حَصِيرًا ﴾
“Jika kalian kembali kepada (kedurhakaan) niscaya Kami pun kembali (mengadzab kalian). Kami telah menjadikan neraka Jahannam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman.” [Al-Isra` : 8]

Sekarang ternyata kalian kembali (melakukan kedurhakaan), maka pasti akan kembali pula kepada kalian adzab Allah yang sangat keras, (Dia Allah adalah) Dzat yang tidak akan pernah mengingkari janji. Melalui tangan tentara Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, bukan tentara yang telah menjadi kaki tangan kalian atau kaki tangan Barat dan Nashara, serta kaki tangan harta duniawi. Jangan kalian sombong dan jangan tertipu. Demi Allah, kalian tidak akan pernah menang terhadap Islam, kalian tidak akan pernah menang terhadap tentara Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, serta kalian tidak akan pernah menang terhadap tentara Al-Faruq (’Umar bin Al-Khaththab Radhiyallah ‘anhu), atau tentara Khalid (bin Al-Walid Radhiyallah ‘anhu), dan saudara-saudaranya dari kalangan tentara-tentara Allah dan tentara-tentara Islam.

Kepada seluruh kaum muslimin secara umum, baik pemerintah maupun rakyat, kelompok-kelompok maupun partai-partai, ‘ulama maupun cendekiawan : Sampai kapan kalian cenderung mengutamakan kehidupan (dunia) yang hina ini? Sampai kapan kalian hidup sebagai buih? Sampai kapan?! Sampai kapan?! Sampai kapan?! Mana orang-orang yang berakal jernih di tengah-tengah kalian?! Mana para ‘ulama kalian?! Mana para cendekiawan kalian?! Mana para panglima perang kalian?!

Kalian telah mendirikan ribuan sekolah dan universitas, mana hasilnya? Demi Allah, kalau seandainya ada sepuluh sekolah dan universitas yang tegak di atas manhaj nubuwwah, baik dalam aqidah, akhlaq, maupun penerapan syari’at yang bijaksana, niscaya dunia akan terang dengan cahaya iman dan tauhid dan akan sirnalah kegelapan kebodohan, kesyirikan, dan kebid’ahan, dan musuh tidak akan bisa menguasai (menjajah) kalian seperti ini. Kalau ada sebagian universitas yang tegak di atas manhaj yang benar, maka menyelinaplah orang-orang yang tidak suka dengan manhaj (yang haq) tersebut, kemudian merusak perjalanannya serta merusak para akademisi dan lulusannya. Hanya kepada Allah sajalah tempat kita mengeluh.

Tidakkah kenyataan pahit ini mendorong kalian untuk meninjau kembali kurikulum-kurikulum di sekolah-sekolah dan universitas-universitas kalian, serta metode pendidikan kalian. Tidakkah sudah tiba masanya untuk memikirkan baik-baik dalam rangka melakukan perbaikan terhadap sistem tersebut? Menggantinya secara total, memberlakukan kurikulum Islamiyyah yang benar yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam serta manhaj as-salafush shalih. Demi Allah, tidak akan baik kondisi generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang telah membuat baik kondisi generasi awal umat ini.

Gantilah kurikulum-kurikulum tersebut yang tidak menghasilkan kecuali buih, berlakukanlah manhaj rabbani, yang tidak ada kebaikan, kesuksesan, maupun keselamatan baik di dunia maupun di akhirat kecuali dengannya. Jika kalian memang benar-benar menginginkan untuk diri kalian dan untuk umat kalian kesuksesan, kebaikan, dan kemenangan terhadap musuh-musuhnya, terutama (kemenangan) terhadap suatu kaum yang telah Allah timpakan kepada mereka kehinaan dan kerendahan (yaitu kaum Yahudi).

Kepada Pemerintah Muslimin secara khusus,

Sungguh di atas pundak kalian terdapat tanggung jawab yang sangat besar sekali :

Tanggung jawab pertama, kewajiban kalian untuk senantiasa berpegang kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan sirah para al-khulafa`ur Rasyidin baik dalam aqidah, ibadah, maupun politik kalian, serta dalam mengemban tanggung jawab rakyat dan pendidikan mereka.

Kewajiban dari Allah atas kalian -secara pasti- adalah :

- Kalian enyahkan segala undang-undang (buatan manusia) yang membuat mundur dan terbelakangnya umat (dalam hal keimanan dan aqidah mereka).

- Hendaknya kalian melakukan siasat dalam mengatur umat (rakyat) kalian dalam segala urusan kehidupan mereka, baik kehidupan keagamaan maupun kehidupan dunia mereka, berdasarkan aturan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta bimbingan para al-khulafa`ur Rasyidin.

Karena sesungguhnya kalian hanyalah hamba-hamba Allah, yang di atas bumi-Nya kalian hidup, dari rizki-Nya lah kalian makan, minum, dan berpakaian, maka sudah merupakan hak Allah atas kalian adalah kalian beribadah hanya kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya, dan kalian merasa mulia dengan agama dan syari’at-Nya. Maka berpegangteguhlah kepadanya dan perintahkan rakyat kalian agar juga berpegang teguh kepadanya. Kondisi keagamaan rakyat sangat bergantung dengan kondisi para pimpinan mereka. Sesungguh Allah akan mencabut (kezhaliman atau kerusakan) melalui tangan sulthan (penguasa) yang tidak bisa dicabut melalui (nasehat-nasehat) Al-Qur`an, sebagaimana ditegaskan oleh Khalifah ar-Rasyid ‘Utsman (bin ‘Affan Radhiyallahu ‘anhu).

Tanggung Jawab Kedua, hendaknya kalian membentuk sebuah pasukan yang Islami yang terdidik di atas bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah, serta terdidik di atas pondasi tentara Islam, dalam rangka mewujudkan berbagai tujuan dan target tentara Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Sungguh, wajib atas kalian untuk mendidik (tentara tersebut) di atas bimbingan aqidah dan manhaj Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, serta aqidah dan manhaj Al-Faruq (’Umar bin Al-Khaththab), dan Khalid (bin Al-Walid), serta mendidik (tentara tersebut) di atas tujuan yang telah digariskan oleh Allah untuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabatnya, agar mereka menjadi junudullah (tentara Allah) sejati. Maka jika kondisi mereka seperti itu, sungguh mereka (junudullah tersebut) tidak akan pernah terkalahkan. Allah berfirman :

﴿ وَإِنَّ جُندَنَا لَهُمُ الْغَالِبُونَ ﴾ الصافات : 173

Sesungguhnya tentara Kami-lah yang pasti menang. [Ash-Shaffat : 173]

Bukan di atas tujuan-tujuan duniawi dan syi’ar-syi’ar jahiliyyah, baik syi’ar nasionalisme, atau syiar kebangsaan, atau syi’ar kedaerahan, ataupun syai’ar-syi’ar lain yang lebih jelek dari itu semua. Sungguh telah cukup (sebagai pelajaran) bagi kalian dan rakyat kalian apa yang selama ini menimpa kalian dan rakyat kalian, yaitu pelecehan oleh umat yang paling rendah dan paling hina (yaitu Yahudi), serta tantangan mereka terhadap kalian, kesombongannya, ketakaburannya, dan sikap ekstrim mereka terhadap kalian. Demi Allah, tidak akan bisa menghilangkan berbagai kejahatan dan kesombongan (Yahudi) tersebut kecuali dengan cara berpegang teguh kepada Islam, serta mentarbiyyah rakyat dan tentara kalian di atas prinsip-prinsip (aqidah) dan ideologi Islam, serta menghilangkan segala bentuk syi’ar, pemikiran, dan ideologi yang mengantarkan umat kepada kenyataan yang sangat pahit ini.

Kepada rakyat Palestina secara khusus :

Wajib atas rakyat Palestina untuk mengetahui tahu, bahwa :

Negeri Palestina tidaklah dimerdekakan kecuali dengan Islam, di bawah kepemimpinan Faruqul Islam (’Umar bin Al-Khaththab) dan bala tentaranya yang Al-Islamiyyah Al-Faruqiyyah.

Tidak mungkin pula negeri Palestina dibebaskan dari kenajisan Yahudi kecuali dengan Islam yang benar, yang denganya negeri Palestina telah berhasil direbut melalui kepemimpinan Al-Faruq (’Umar bin Al-Khaththab Radhiyallah ‘anhu). Sungguh kalian telah berupaya membela diri dengan sekuat tenaga. Aku tidak mengetahui suatu bangsa yang bisa bersabar seperti kesabaran kalian, namun sayang banyak di antara kalian yang tidak beraqidah dengan aqidahnya Al-Faruq (’Umar bin Al-Khaththab Radhiyallah ‘anhu) dan tidak bermanhaj dengan manhajnya. Kalau seandainya jihad kalian ditegakkan di atas aqidah dan manhaj tersebut, niscaya berbagai problem kalian akan teratasi, dan niscaya kalian akan meraih kemenangan dan kesuksesan.

Maka wajib atas kalian menegakkan aqidah, manhaj, dan jihad kalian di atas bimbingan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, wajib pula atas kalian semuanya untuk berpegang berpegang teguh kepada tali (agama) Allah dan tidak berpecah belah. Terapkanlah ini semua dengan penuh keseriusan dan keikhlasan baik di masjid-masjid kalian, sekolah-sekolah kalian, maupun di universitas-universitas kalian. Jujurlah kepada Allah dalam semua itu Insya Allah demi terwujudnya kemenangan yang gemilang terhadap bangsa (Yahudi) saudara-saudara kera dan babi.

Sesungguhnya bagi kaum muslimin penduduk Syam ada janji yang pasti melalui lisan (Rasululullah) sang Ash-Shadiqul Mashduq (yang jujur dan dibenarkan), yaitu janji kemenangan atas kaum Yahudi dan Nashara. Maka bangkitlah kalian dengan penuh kesungguhan menyongsong terwujudnya janji tersebut. Tanpa itu pasti kalian tidak akan memperoleh kecuali kegagalan dan kerugian. Sungguh, demi Allah, tidak bermanfaat bagi kalian ikut campurnya Amerika, atau PBB, serta tidak memberi manfaat kepada kalian semangat nasionalisme, atau pun semangat kebangsaan yang sangat dibenci (oleh Allah). Maka bersegeralah, bersegeralah merealisasikan sebab-sebab terwujudnya kemenangan yang hakiki dan pasti. Sungguh telah cukup bagi kalian (sebagai pelajaran) berbagai pengalaman yang sangat banyak, yang semuanya tidak bermanfaat dan tidak akan bermanfaat untuk kalian sedikitpun (selain merealisasikan sebab-sebab kemenangan yang hakiki dan pasti). Janganlah kalian menjadi seperti kondisi yang diungkapkan dalam syair :

كالعيس في البيداء يقتله الظمأ … والماء فوق ظهورها محمول
Seperti onta yang berjalan di gurun, ia terbunuh (mati) oleh dahaga

Padahal air senantiasa terbawa di atas punggungnya

Ya Allah, wujudkan untuk umat ini dalam perkara yang benar, yang dengannya para wali-Mu menjadi mulia dan musuh-musuh-Mu menjadi hina. Ya Allah tinggikanlah kalimat-Mu, muliakanlah agama-Mu, dan muliakanlah dengannya kaum muslimin, giringlah (bimbinglah) mereka kepada-Mu dan kepada agama-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar (mengabulkan) do’a..

Artikel asli dari http://sahab.net/home/index.php?threads_id=160 :
فضيلة العلامة د. ربيع بن هادي بن عمير المدخلي : إلى أمة الغضب الذين قال الله فيهم : ﴿ فَبَاؤُواْ بِغَضَبٍ عَلَى غَضَبٍ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُّهِينٌ ﴾ . [ البقرة : 90 ] . إلى أمة الذل والهوان الذين ضرب الله عليهم الذلة والمسكنة بكفرهم وقتلهم الأنبياء : ﴿ ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُواْ إِلاَّ بِحَبْلٍ مِّنْ اللهِ وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ وَبَاؤُوا بِغَضَبٍ مِّنَ اللهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُواْ يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللهِ وَيَقْتُلُونَ الأَنبِيَاء بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوا وَّكَانُواْ يَعْتَدُونَ ﴾ . [ آل عمران : 112 ] .

فهذه بعض صفاتكم التي استوجبتم بها الذلة ، والمسكنة ، والغضب من الله ، ولا تقوم لكم قائمة إلا بحبل من الله ، وحبل من الناس إلى يومنا هذا وإلى يوم القيامة . فليس لكم سند من إيمان وعقيدة ، وليس لكم سند من رجولة وشجاعة ؛ فلا تزالون تقاتلون من وراء جدر بأسكم بينكم شديد ، إن أوصافكم الشنيعة لكثيرة جدًا ، ومنها : الخيانة ، والغدر ، وإثارة الفتن ، وتأجيج نار الحروب ، والسعي في الأرض بالفساد ، وكلما أوقدتم نارًا للحرب أطفأها الله ، وإن تأريخكم لأسود ومعروف ذلكم عنكم لدى الأمم جميعًا .

لهذه الأمة أقول - ويقولها كل مسلم صادق - : لا تبطروا ، ولا تأشروا ، ولا تغتروا بما أحرزتموه من نصر مغشوش ؛ فإنكم - والله - ما انتصرتم على جيش محمد - صلى الله عليه وسلم - ، ولا على عقيدة محمد - صلى الله عليه وسلم - : عقيدة التوحيد " لا إله إلا الله " ، لم تنتصروا على جيش يقوده أمثال : خالد بن الوليد ، وأبي عبيدة بن الجراح ، وسعد بن أبي وقاص ، وعمرو بن العاص ، والنعمان بن مقرن ممن تربوا على عقيدة محمد - صلى الله عليه وسلم - ، ومنهج محمد - صلى الله عليه وسلم - ، وربوا جيوشهم على ذلك ، وقادوهم لإعلاء كلمة الله ؛ فلم يقف في وجههم من هم أشد منكم قوةً وبأسًا من جيوش الأكاسرة والقياصرة .

لم تنتصروا على جيش هذا حاله ، وهذه عقيدته ، وهذا منهجه ، وهذه غايته إعلاء كلمة الله . إنما انتصرتم على جيوش هي خلوف ﴿ فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ﴾ . [ مريم : 59 ] .

انتصرتم على جيش أكثرهم لا يعتقدون عقيدة محمد وأصحابه ، ولا منهج محمد وجنده ، ولا الغاية التي كانوا يجاهدون من أجلها . على هؤلاء الغثاء انتصرتم ، وبسبب ضياعهم وفشلهم قامت دولتكم ، وعلوتم في الأرض ، وأشعتم بها الفساد ﴿ وَقَضَيْنَا إِلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ فِي الْكِتَابِ لَتُفْسِدُنَّ فِي الأَرْضِ مَرَّتَيْنِ وَلَتَعْلُنَّ عُلُوًّا كَبِيرًا . فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ أُولاهُمَا بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَّنَا أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ فَجَاسُواْ خِلالَ الدِّيَارِ وَكَانَ وَعْدًا مَّفْعُولاً . ثُمَّ رَدَدْنَا لَكُمُ الْكَرَّةَ عَلَيْهِمْ وَأَمْدَدْنَاكُم بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَجَعَلْنَاكُمْ أَكْثَرَ نَفِيرًا . إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لأَنفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الآخِرَةِ لِيَسُوؤُواْ وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُواْ الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُواْ مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا ﴾ . [ الإسراء : 4 - 7 ] .

وهذا هو تأريخكم ، وهكذا يعاملكم الله ، ولئن كانت هذه قد مضت على أيدي المجوس ، فلكم - إن شاء الله - ما هو أشد منها على أيدي جيش محمد - صلى الله عليه وسلم - جيش الإسلام كما توعدكم الله بذلك لهوانكم عليه ، ولحقارتكم لديه ﴿ وَإِنْ عُدتُّمْ عُدْنَا وَجَعَلْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِينَ حَصِيرًا ﴾ . [ الإسراء : 8 ] .

وهأنتم عدتم ، وسيعود لكم بطش الله الشديد الذي لا يخلف الميعاد ، وعلى أيدي جيش محمد لا على أيدي أفراخكم ، وأفراخ الغرب النصراني والمادي . لا تغتروا ، ولا تبطروا ؛ فوالله ما انتصرتم على الإسلام ، ولا على جيش محمد ، والفاروق ، وخالد ، وإخوانه من جنود الله وجنود الإسلام .

وإلى عموم المسلمين - حكامًا ومحكومين ، طوائف وأحزاب ، وعلماء ومثقفين - : إلى متى تركنون إلى هذه الحياة الذليلة !؟ إلى متى تعيشون هذا الغثاء !؟ إلى متى !؟ وإلى متى !؟ وإلى متى !؟ فأين عقلاؤكم !؟ وأين علماؤكم !؟ وأين مثقفوكم !؟ وأين قاداتكم العسكريون !؟

لقد أنشأتم آلاف المدارس والجامعات فما هي ثمارها !؟ - والله - لو قام عشر معشار هذه المدارس والجامعات على منهاج النبوة عقيدةً ، وأخلاقًا ، وتشريعًا حكيمًا لأضاءت الدنيا بنور الإيمان والتوحيد ، ولتبددت ظلمات الجهل والشرك والبدع ، ولما تسلط عليكم الأعداء هذا التسلط ، وإن قامت بعض الجامعات على المنهج الحق تسلل إليها من لا يحب هذا المنهج ، فأثر في مسارها ، وغير وجهة كثير من منسوبيها ، فإلى الله المشتكى .

ألا يحتم عليكم هذا الواقع المرير ؛ إعادة النظر في مناهج مدارسكم وجامعاتكم ، وأساليب تربيتكم ، هل آن الآوان للتفكير الجاد في تغيير هذه الأوضاع ، وقلبها رأسًا على عقب ، وإقامة المناهج الإسلامية الصحيحة المستمدة من كتاب الله ، وسنة رسوله - صلى الله عليه وسلم - ، ومنهج السلف الصالح ، - والله - لا يصلح آخر هذه الأمة ؛ إلا بما صلح به أولها .

غيروا هذه المناهج التي لا تنتج لكم في الغالب إلا الغثاء ، وأقيموا على أنقاضها المنهج الرباني الذي لا صلاح ولا فلاح ولا نجاح لكم في الدنيا والآخرة إلا به ؛ إن كنتم تريدون لأنفسكم وأمتكم الفلاح والصلاح والنصر على الأعداء ، وعلى رأسهم من ضرب الله عليهم الذلة والمسكنة .

وإلى حكام المسلمين - خاصة - إن عليكم لمسؤلية عظيمة جدًا جدًا :

أولها : إلتزامكم بكتاب الله ، وسنة رسوله ، وسيرة الخلفاء الراشدين في عقائدكم وعباداتكم وسياستكم ، وفي حمل رعاياكم وتربيتهم على كل ذلك ، وعليكم - حتمًا - من الله ربكم أن تنبذوا القوانين - والله - الرجعية المتخلفة ، وسياسة أمتكم في جميع شؤون حياتها الدينية والدنيوية بكتاب الله ، وسنة رسوله ، وخلفائه الراشدين . فإنكم عباد الله ، وعلى أرضه تعيشون ، ومن رزقه تأكلون وتشربون وتلبسون ؛ فمن حقه عليكم أن تعبدوه ، وأن تشكروه ، وأن تعتزوا بدينه وشرعه ؛ فتلتزمونه ، وتلزمون به شعوبكم ، والناس على دين ملوكهم ، وإن الله لينزع بالسلطان مالا ينزع بالقرآن - كما قال الخليفة الراشد عثمان - .

ثانيًا : أن تكوِّنوا جيوشًا إسلامية تتربى على الكتاب والسنة ، وعلى أسس الجيش الإسلامي ، ولتحقيق غايات وأهداف الجيش المحمدي . يجب أن تربوه على عقيدة ومنهج محمد - صلى الله عليه وسلم - ، والفاروق ، وخالد ، وأن تربوه على الغايات التي رسمها الله لمحمد وصحبه ليكونوا جند الله حقًا ، وحينئذٍ فلن يغلبوا ﴿ وَإِنَّ جُندَنَا لَهُمُ الْغَالِبُونَ ﴾ . [ الصافات : 173 ] . لا على غايات دنيوية ، وشعارات جاهلية من قومية ، ووطنية ، وإقليمية ، وما هو أسوأ من ذلك ، فقد كفاكم - إن شاء الله - ، وكفى شعوبكم ما نزل بكم ، وبهم من استخفاف أحط الأمم ، وأذلها ، وتحديها لكم ، وغطرستها ، وكبريائها ، وطغيانها عليكم ، والله لا يدفع هذه الشرور والكبرياء إلا بالاعتصام بالإسلام ، وتربية أمتكم وجيوشكم على أصوله ، ومبادئه مع إسقاط كل الشعارات ، والأفكار ، والعقائد التي آلت بالأمة إلى هذا الواقع المرير .

وإلى الشعب الفلسطيني - خاصةً - يجب أن يعلم هذا الشعب : أن فلسطين ما فتحت إلا بالإسلام على يد فاروق الإسلام وجيوشه الإسلامية الفاروقية ، ولن تحرر من دنس اليهود إلا بالإسلام الحق الذي فتحت به على يد الفاروق . ولقد ناضلتم كثيرًا وكثيرًا ، ولا أعرف شعبًا صبر مثل صبركم ، ولكن كثيرًا منكم لا يحمل عقيدة الفاروق ولا منهجه ، ولو قام جهادكم على هذا لحلت مشكلتكم ، وأحرزتم النصر والظفر ؛ فعليكم أن تقيموا عقائدكم ، ومناهجكم ، وجهادكم على كتاب الله ، وسنة رسوله ، وأن تعتصموا جميعًا بحبل الله ولا تفرقوا ؛ افعلوا كل هذا بجد وإخلاص في مساجدكم ، ومدارسكم ، وجامعاتكم ، واصدقوا الله في كل ذلك - إن شاء الله - لتحقيق النصر المؤزر على إخوان القردة والخنازير .

وإن لأهل الشام المسلمين وعدًا صادقًا على لسان الصادق المصدوق - صلى الله عليه وسلم - بالنصر على اليهود والنصارى ، فشمروا عن ساعد الجد ينجز لكم وعده ، وبدون ذلك فلن تحصلوا إلا على الخيبة والخسران ، فلا - والله - لا ينفعكم تدخل أمريكا ، ولا الأمم المتحدة ، ولا القومية ، ولا الوطنية المقيتة ؛ فالبدار البدار إلى أسباب النصر الحقيقي المؤزر ، فلقد كفتكم التجارب الكثيرة التي لم تغني ، ولن تغني عنكم شيئًا ، ولا تكونوا كما قيل :

كالعيس في البيداء يقتله الظمأ ... والماء فوق ظهورها محمول

اللهم أبرم لهذه الأمة أمر رشد يعز فيه أولياؤك ، ويذل فيه أعداؤك . اللهم أعل كلمتك ، وأعز دينك ، وأعز به المسلمين . وخذ بنواصيهم إليك وإليه . إنك سميع الدعاء .

(Dikutip dari artikel asli berjudul "PERINGATAN TERHADAP YAHUDIAKAN KEHANCURANNYA DI TANGAN TENTARA NABI MUHAMMAD Shallallahu ‘alaihi wa Sallam !!" URL Sumber http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=49)
http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1384

Sikap Muslim Atas Penjajahan Yahudi

Bismillah...

Berikut serial ceramah dan penjelasan yang disampaikan oleh Al-Ustadz Luqman Ba’abduh seputar tragedi yang menimpa saudara-saudara kita kaum muslimin di negeri Palestina :
1. Peringatan Terhadap Yahudi akan kekalahan dan kehancuran mereka di tangan Tentara Muslimin
Download di http://www.assalafy.org/mahad/?file_id=31
2. Pembelaan, Dukungan, dan Bantuan Untuk Rakyat Muslimin Palestina
Download di http://www.assalafy.org/mahad/?file_id=32
3. Qunut Nazilah untuk Rakyat Muslimin Palestina
Download di http://www.assalafy.org/mahad/?file_id=33
4. a. Sebab-sebab Diterima dan Terhalanginya Do’a
b.Kewajiban Memberikan Bantuan Dana untuk Muslimin Palestina
c. Bantahan atas Tuduhan terhadap negara Arab Saudi
Download di http://www.salafishare.com/id/24ZOI18CL837/004%20Palestina-090116%20e.zip
5. Kenapa Tidak Berangkat Berjihad ke Palestina?
Syarat-Syarat Jihad
Download di http://www.assalafy.org/mahad/?file_id=35
6. a. Syarat-Syarat Jihad
b. Tahapan-Tahapan Diwajibkannya Jihad
c. Sabar ketika Umat dalam Kondisi Lemah
Download di http://www.assalafy.org/mahad/?file_id=36
7. a. Sabar merupakan Ibadah sebagaimana Jihad merupakan Ibadah
b. Jangan Terburu-Buru dan Bertindak Gegabah
Download di http://www.assalafy.org/mahad/?file_id=37
8. a. Segala Kekuatan yang Tidak Membuat Takut Musuh maka Bukan Kekuatan
b. Persiapan Kekuatan Iman
c. Pertolongan itu hanyalah dari Sisi Allah
d. Makna Menolong Agama Allah
e. Musibah yang Menimpa Disebabkan Dosa-Dosa
f. Sebab-Sebab Kelemahan Kaum Muslimin
Download di http://www.assalafy.org/mahad/?file_id=38
9. a. Sebab-Sebab Kehinaan Kaum Muslimin
b. Menuju Kemenangan dan Kejayaan Kaum Muslimin
c. Metode At-Tashfiyyah dan At-Tarbiyyah
Download di http://www.assalafy.org/mahad/?file_id=39
10. a. Nasehat dan Peringatan untuk Pergerakan Hamas atas Berbagai
b. Penyimpangan dan Penyelewengan Pergerakan tersebut
c. Hamas Tidak Akan Menerapkan Syari’at Islam
d. Hamas Berperang Melawan Yahudi bukan Karena Agama
Download di http://www.assalafy.org/mahad/?file_id=40

(Sumber : http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=52, http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=54, http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=55, http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=56)

Fatwa Ulama Besar Seputar Maulid Nabi

.: :.
Para pembaca yang budiman, ketahuilah bahwa wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk cinta kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Bahkan tidak akan sempurna keimanan seseorang hingga ia mencintai Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anak-anaknya, bahkan seluruh manusia. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

"Tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anak-anaknya, dan seluruh manusia." [HR. Bukhariy (15), dan Muslim (44)]

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu -hafizhahullah- berkata, "Hadits ini memberikan faedah kepada kita bahwasanya keimanan tidak akan sempurna hingga seseorang mencintai Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia." [Lihat Minhajul Firqatun Najiyah (hal. 111)]

Setelah kita mengetahui hal ini, lalu bagaimana cara mencintai Nabi-Shallallahu ‘alaihi wasallam-? Cinta kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah dengan mengikuti syari’at beliau. Tidaklah dibenarkan bagi seseorang untuk mengada-adakan suatu perkara baru dalam syariat beliau, dengan anggapan hal tersebut bisa mendekatkan diri kepada Allah atau suatu bentuk kecintaan kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- , atau itu adalah bid’ah hasanah. Padahal semua bid’ah dalam agama adalah sesat dan buruk !!

Di edisi kali ini, kami akan bawakan fatwa ulama besar berkenaan dengan perkara yang dianggap oleh sebagian orang merupakan bentuk kecintaan kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, padahal perkara tersebut tidak ada dasarnya sama sekali dalam syari’at yang mulia ini dan bukan pula bentuk kecintaan kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, yakni perayaan maulid Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- .

* Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (mantan mufti di sebuah negeri Timur Tengah), ditanya tentang hukum perayaan maulid Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- .

Syaikh bin Baaz-rahimahullah- menjawab, "Tidaklah dibenarkan seorang merayakan hari lahir (maulid) Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan hari kelahiran lainnya, karena hal tersebut termasuk bid’ah yang baru diada-adakan dalam agama. Padahal sesungguhnya Rasul -Shallallahu ‘alaihi wasallam- , para Khalifah Ar-Rasyidin dan selainnya dari kalangan sahabat tidak pernah melakukan perayaan tersebut dan tidak pula para tabi’in yang mengikuti mereka dalam kebaikan di zaman yang utama lagi terbaik. Mereka adalah manusia yang paling tahu tentang Sunnah, paling sempurna cintanya kepada Nabi dan ittiba’-nya (keteladanannya) terhadap syariat beliau dibandingkan orang-orang setelah mereka.

Telah shahih (sebuah hadits) dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

"Barang siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama ini yang bukan bagian dari agama ini, maka hal itu tertolak". [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (2697) dan Muslim(1718)]

Beliau juga bersabda, "Wajib atas kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah ar rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Peganglah ia kuat-kuat dan gigit dengan gigi geraham. Berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru yang diada-adakan, karena semua perkara baru itu adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat." [Abu Dawud (4617), At-Tirmidziy (2676), dan Ibnu Majah (42). Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Shahih Al-Jami’ (2546)]

Jadi, dalam dua hadits yang mulia ini terdapat peringatan yang keras dari berbuat bid’ah dan mengamalkannya. Allah -Ta’ala- berfirman,

"Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah; dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya ." (QS. Al-Hasyr :7).

Allah -Ta’ala- berfirman,

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (QS.An-Nur :63).

Allah -Ta’ala- berfirman,

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS.Al-Ahzab :21).

Allah -Ta’ala- berfirman,

"Pada hari Ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu." (QS.Al-Maidah :3).

Membuat perkara baru -semacam maulid- ini akan memberikan sangkaan bahwa Allah -Ta’ala- belum menyempurnakan agama untuk umat ini, dan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- belum menyampaikan kepada umatnya apa yang pantas untuk mereka amalkan, sehingga datanglah orang-orang belakangan ini membuat-buat perkara baru dalam syariat Allah apa yang tidak diridhoi Allah, dengan sangkaan hal tersebut bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah. Padahal perkara ini –tanpa ada keraguan- adalah bahaya yang sangat besar, termasuk penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya. Padahal sungguh Allah telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya; Allah telah menyempurnakan nikmat-Nya atas mereka dan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sungguh telah menyampaikan syariat ini dengan terang dan jelas. Beliau tidaklah meninggalkan suatu jalan yang bisa mengantarkan ke surga dan menjauhkan dari neraka, kecuali beliau telah sampaikan kepada umatnya, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari sahabat Abdullah bin Amer -radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِيْ إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ, وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ

"Tidaklah Allah mengutus seorang nabi, kecuali wajib atasnya untuk menunjukkan kebaikan atas umatnya apa yang ia telah ketahui bagi mereka, dan memperingatkan mereka dari kejelekan yang ia ketahui bagi mereka." [HR.Muslim dalam Shohih-nya (1844)]

Suatu hal yang dimaklumi bersama, Nabi kita -Shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah Nabi yang paling utama, penutup para nabi dan yang paling sempurna penyampaiannya dan nasihatnya. Andaikata perayaan maulid ini termasuk agama yang diridhoi Allah, niscaya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- akan jelaskan kepada umatnya atau pernah melaksanakannya atau setidaknya para sahabat pernah melakukannya. Akan tetapi, tatkala hal tersebut tidak pernah sama sekali mereka lakukan, maka diketahuilah hal tersebut bukanlah dari Islam sedikit pun juga, bahkan dia termasuk dari perkara-perkara baru yang telah diperingatkan bahayanya oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sebagaimana dalam dua hadits yang tersebut di atas. Hadits-hadits lain yang semakna dengannya telah datang (dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-), seperti sabda beliau dalam khutbah jum’at:

أََمَّا بَعْدُ, فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

"Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-sebaik petunjuk adalah petunjuk Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, sejelek-jeleknya perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat." [HR.Muslim Shohih-nya (867)]

Demikian fatwa dari Syaikh Abdul Aziz bin Baaz -rahimahullah-, Anda bisa lihat dalam kitab Majmu’ Fatawa As-Syaikhbin Baz (1/183), dan Al-Bida’ wal Muhdatsat (hal 619-621).

* Syaikh Abdul Aziz bin Baaz juga ditanya, "Apa hukum menyampaikan nasihat atau ceramah pada hari maulid Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-?

Syaikh bin Baaz menjawab, "Amar ma’ruf nahi mungkar, memberikan bimbingan dan arahan kepada manusia, menjelaskan kepada mereka tentang agama mereka, dan memberikan nasihat kepada mereka dengan sesuatu yang bisa melembutkan hati mereka adalah perkara yang disyariatkan pada setiap waktu, karena adanya perintah untuk perkara tersebut datang secara mutlak, tanpa ada pengkhususan waktu tertentu.

Allah -Ta’ala-berfirman,

"Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung." (QS.Al-Maidah : 104).

Allah -Ta’ala- berfirman,

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS.An-Nahl :125).

Allah juga menjelaskan keadaan orang-orang munafik dan sikap para da’i (penyeru) diantara mereka,

"Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri. Kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna". Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka dengan perkataan yang berbekas pada jiwa mereka." (QS. An-Nisa’: 61-63); dan ayat-ayat lain.

Jadi, Allah memerintahkan untuk berdakwah dan memberikan nasihat secara mutlak, tidak mengkhususkannya pada waktu tertentu. Sekalipun nasihat dan bimbingan ini semakin dianjurkan ketika ada tuntutan kepadanya, seperti khutbah Jum’at dan hari Ied, karena warid (datang)-nya hal tersebut dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- .Demikian pula ketika melihat suatu kemungkaran, ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ, وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

"Barang siapa diantara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman." [HR.Muslim (49)]

Adapun pada hari maulid, maka di dalamnya tidak boleh ada suatu pengkhususan dengan suatu ibadah tertentu yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya, adanya nasihat, bimbingan, pembacaan kisah maulid, karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak pernah mengkhususkan hal tersebut dengan perkara-perkara tersebut. Andaikan hal tersebut baik, niscaya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah orang yang paling pantas untuk (melakukan) hal tersebut. Akan tetapi nyatanya beliau tidak pernah melakukannya. Menunjukkan bahwa adanya pengkhususan-pengkhususan tersebut dengan ceramah, pembacaan kisah maulid atau selainnya termasuk perkara-perkara bid’ah. Telah shahih dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

"Barang siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama ini yang bukan bagian dari agama ini, maka hal itu tertolak". [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (2697) dan Muslim(1718)]

Demikian pula halnya para sahabat, mereka tidak pernah melakukan hal tersebut, padahal mereka adalah manusia yang paling tahu tentang Sunnah dan paling bersemangat untuk mengamalkannya". [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (5591), dan Al-Bida’ wa Al-Muhdatsat wa ma laa Ashla lahu (628-630)]

Jadi, maulid bukanlah sarana syar’i dalam beribadah dan mencintai Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Tapi ia adalah ajaran baru yang disusupkan oleh para pelaku bid’ah dan kebatilan . Bid’ah perayaan hari lahir (ulang tahun) secara umum serta perayaan hari lahir Nabi-Shallallahu ‘alaihi wasallam- (maulid) secara khusus, tidak muncul, kecuali pada zaman Al-Ubaidiyyun pada tahun 362 H.

Ulama’ bermadzhab Syafi’iyyah, Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (11/127) berkata, “Sesungguhnya pemerintahan Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun yang bernisbah kepada Ubaidillah bin Maimun Al-Qoddah, seorang Yahudi yang memerintah di Mesir dari tahun 357 – 567 H, mereka memunculkan banyak hari-hari raya. Diantaranya perayaan maulid Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-”.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 79 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

(Dikutip dari situs http://almakassari.com/?p=321, judul asli Fatwa Ulama Besar Seputar Maulid)