Tuesday, July 21, 2009

Kesyahidan Bukan Tujuan Satu- Satunya, Tetapi Tujuan Utama Adalah Memenangkan Islam

Dengan kata lain: Tujuan pokok jihad adalah memenangkan Islam, bukan semata-mata mati syahid.

Tetapi keutamaan mati syahid terdapat beberapa dalil:

1) Firman Alloh SWT:

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنْ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمْ الْجَنَّةَ

“Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan jannah untuk mereka.” (QS. At-Taubah:111)

2) Dari Abu Huroiroh ra. bahwasanya Rosululloh SAW bersabda:
انتدب الله لمن خرج في سبيله لا یخرجه إلا إیمان بي وتصدیق برسلي، أن أرجعه بما
نال من أجر أو غنيمة، أو أدخله الجنة، ولولا أن أشق على أمتي ما قعدت خَلْف سریة،
ولوَدِدت أن أقتل في سبيل الله، ثم أحيا فأقتل، ثم أحيا فأقتل
“Alloh telah menyeru siapa yang keluar di jalan-Nya, ia tidak keluar kecuali lantaran iman kepada-Ku dan membenarkan para Rosul-Ku, akan Aku kembalikan ia dengan membawa pahala atau ghonimah yang ia peroleh, atau Aku masukkan ia ke surga.” Kalau tidak memberatkan ummatku, aku akan ikut dalam sariyah, sungguh aku berangan-angan seandainya aku terbunuh di jalan Alloh, kemudian dihidupkan lagi, kemudian terbunuh kemudian dihidupkan lagi kemudian terbunuh.” (Muttafaq ‘Alaih)

• Dan dari Anas ra. bahwasanya Rosululloh SAW bersabda:
ما أحد یدخل الجنة یحب أن یرجع إلى الدنيا، وله ما على الأرض من شيء، إلا الشهيد
یتمنى أن یرجع إلى الدنيا فيُقتل عشر مرات لما یرى من الكرامة

“Tidak ada seorangpun masuk jannah yang ingin kembali ke dunia serta memiliki sesuatu dari bumi, kecuali orang yang mati syahid, ia berangan-angan seandainya ia kembali ke dunia lalu terbunuh sepuluh kali, karena kemuliaan yang ia lihat.” (Muttafaq ‘Alaih)

Makna hadits di atas adalah, siapa yang masuk jannah, ia tidak suka kembali ke dunia meskipun ia memiliki semua isi dunia karena agungnya kenikmatan jannah yang ia dapatkan, di dalam sebuah hadits disebutkan:
موضع سوط في الجنة خير من الدنيا وما فيها

“Tempat cemeti di surga lebih baik daripada dunia seisinya.” (HR. Bukhori dari Sahl bin Sa’ad)

Kecuali orang yang mati syahid, ia sangat ingin kembali ke dunia lalu terbunuh sebanyak sepuluh kali di jalan Alloh karena berlipat gandanya kedudukan agung yang ia peroleh di jannah. Oleh karena itu, Ibnu Hajar berkata: Ibnu Baththol berkata: “Hadits ini adalah hadits paling besar tentang masalah kesyahidan.” (Fathul Bari (VI/33))

Di sini ada beberapa perkara yang harus diperhatikan kaitannya dengan masalah syahadah (kesyahidan), yaitu:

* Pertama: Pengaruh cinta kesyahidan dalam meraih kemenangan.
* Kedua: Bahaya sikap ngawur.
* Ketiga: Bahaya sifat pengecut.
* Keempat: Bahaya mundur dari perang

YANG PERTAMA:
Pengaruh Cinta Kesyahidan Dalam Meraih Kemenangan

Mengharapkan dan bertekad menggapai kesyahidan termasuk hal terbesar yang mendorong seorang mukmin untuk terus maju dalam perang. Artinya, kesyahidan adalah lembar kemenangan di dunia dan tanda bukti untuk bisa masuk jannah di akhirat (Qs. At At Taubah 111).

Tekad ini juga mampu menggentarkan musuh-musuh mereka, terlebih ketika Anda tahu bahwa musuh Anda sedang ingin hidup, sebab orang kafir adalah orang yang paling ingin hidup, sebagaimana Alloh SWT berfirman:

قُلْ إِنْ آَانَتْ لَكُمْ الدَّارُ الْآخِرَةُ عِنْدَ اللَّهِ خَالِصَةً مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوْا الْمَوْتَ إِنْ آُنتُمْ صَادِقِينَ
وَلَنْ یَتَمَنَّوْهُ أَبَدًا بِمَا قَدَّمَتْ أَیْدِیهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ وَمِنْ
الَّذِینَ أَشْرَآُوا یَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ یُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنْ الْعَذَابِ أَنْ یُعَمَّرَ
“Katakanlah: “Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (jannah) itu khusus untukmu di sisi Alloh, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian(mu), jika kamu memang benar. Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selamalamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Alloh Maha Mengetahui orang-orang yang aniaya. Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, seloba-loba manusia kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkan daripada siksa…” (QS. Al-Baqoroh:94-96).

Kemudian bandingkan ini dengan sabda Nabi SAW dalam hadits Anas ra.
sebelumnya:
إلا الشهيد یتمنى أن یرجع إلى الدنيا فيُقتل عشر مرات لما یرى من الكرامة

“…kecuali orang yang mati syahid, ia berangan-angan untuk kembali ke dunia kemudian terbunuh sepuluh kali, karena kemuliaan yang ia lihat.”

Sejauh mana keinginan seorang mukmin untuk mati dan menggapai kesyahidan, sejauh itu pulalah ketakutan orang kafir kepada kematian dan keinginannya kepada dunia.”

Untuk menguatkan pemahaman ini mesti dilakukan I’dad Imani (latihan pembinaan iman) serta mengkaji sejarah hidup para sahabat dan salafus Sholeh dalam peperangan-peperangan.

Kembali, saya sebutkan di sini pentingnya membuang sikap bermewahmewah serta kebiasaan hidup enak — meskipun dalam urusan dunia seorang mampu — , sebab sikap bersantai dalam hidup mempengaruhi sabar tidaknya seseorang ketika perang.

Di sini harus diperhatikan bahwa mencintai kesyahidan adalah bagian dari siasat membuat takut musuh, itu termasuk prinsip paling penting dalam jihad kaum muslimin. Rosululloh SAW bersabda:
نصرت بالرعب مسيرة شهر
“Aku ditolong dengan rasa takut musuh sejarak perjalanan satu bulan.” (HR. Bukhori dari Jabir).

Pertolongan dengan menjadikan musuh takut dalam hal ini bersifat umum. Prinsip menakut-nakuti musuh dalam praktek riilnya terwujud dengan dua poros:

1) Poros Logistik, yaitu kekuatan yang tercantum dalam firman Alloh SWT:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّآُمْ وَآخَرِینَ
مِنْ دُونِهِمْ لا تَعْلَمُونَهُمْ اللَّهُ یَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ یُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا
تُظْلَمُونَ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Alloh, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Alloh mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Alloh niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Anfal:60)

2) Posor teknikal. Ini ada dua sisi, sisi jasmani dengan cara meningkatkan skill militer pada diri setiap muslim.
Rosululloh SAW bersabda:
المؤمن القوي خير وأحبُّ إلى الله من المؤمن الضعيف
“Orang mukmin yang kuat lebih baik dan dicintai Alloh daripada orang
mukmin yang lemah.” (HR. Muslim dari Abu Huroiroh).

Yang kedua adalah sisi moril dengan menanamkan pemahaman-pemahaman cinta syahid dan bagaimana melatih sabar dalam diri kaum muslimin.
Alloh SWT berfirman:
اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا
“…bersabarlah, dan pertahankan kesabaran kalian serta berjagalah di perbatasan…” (QS. Ali Imron:200).

Dan Alloh SWT berfirman:
إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ یَأْلَمُونَ آَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنْ اللَّهِ مَا لا یَرْجُونَ

Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Alloh apa yang tidak mereka harapkan…” (QS. An-Nisa’:104).

Kembali saya ingatkan kita masih berbicara masalah I’dad Imani bahwa ketaqwaan kepada Alloh SWT dengan melakukan ketaatan-ketaatan serta meninggalkan berbagai maksiat berpengaruh secara otomatis ketika pertempuran terjadi. Alloh SWT telah menjamin orang-orang bertaqwa bahwa musuh akan gentar menghadapi mereka, sebagaimana firman Alloh SWT:

وَلَوْ قَاتَلَكُمْ الَّذِینَ آَفَرُوا لَوَلَّوْا الأَدْبَارَ ثُمَّ لا یَجِدُونَ وَلِيًّا وَلا نَصِيرًا سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ
مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِیلا
“Dan sekiranya orang-orang kafir itu memerangi kamu pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang (kalah) kemudian mereka tiada memperoleh pelindung dan tidak (pula) penolong. Sebagai suatu sunnatulloh yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatulloh itu.” (QS. Al-Fath:22-23).

Oleh karena itu, ketaqwaan dan amal sholeh adalah bagian tak terpisahkan dalam siasat menggentarkan musuh.

KEDUA:
Bahaya Sikap Ngawur (Kenekatan)

Tidak masalah berangan-angan mati syahid dan maju perang sendirian dengan syarat itu bukan menjadi tujuan paling utama dari serangan tersebut, tetapi yang seharusnya menjadi tujuan pertamanya adalah memenangkan diin.

Dengan kata lain, tidak selayaknya seorang muslim terjun ke kancah peperangan hanya semata-mata mencari kesyahidan tanpa melihat kerugian musuh. Dalilnya adalah Sabda Nabi SAW:

من قاتل لتكون آلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله
“Barangsiapa berperang agar kalimat Alloh menjadi tinggi, maka ia berada di jalan Alloh.” (Muttafaq ‘Alaih).

Di sini, Rosululloh SAW menjadikan tujuan utama jihad adalah tingginya kalimat Alloh, bukan semata kesyahidan yang mungkin terjadi dan mungkin tidak, dan kesyahidan tidak terjadi kecuali bagi orang yang dipilih Alloh SWT mendapatkan kedudukan ini, Alloh SWT berfirman:
وَیَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ

“…dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada.” (QS. Ali Imron:140)

Jadi, tujuan pokok jihad adalah memenangkan agama, bukan kesyahidan semata.

Sengaja kami jelaskan masalah ini untuk mengkontrol kenekatan tak terkendali yang dilakukan sebagian kaum muslimin dan mengembalikan mereka kepada sikap adil, yaitu keberanian, yang merupakan tengah-tengah antara sikap nekat dan pengecut. Yang kami maksud sikap ngawur tadi adalah nekat perang semata-mata ingin mati syahid tanpa memperhitungkan pengaruh pada musuh -– meskipun itu diperbolehkan dalam beberapa kondisi, seperti ketika seseorang dikepung dan khawatir akan ditawan lalu ia terus berperan45g sampai terbunuh sebagaimana terjadi dalam Sarriyah ‘Ashim bin Tsabit (Al-Mughni was Syarhul Kabir (X/553), tapi bukan itu tujuan utama — sebab seandainya kesyahidan tujuan utama, tentu lari dari perang untuk bergabung dengan pasukan lain dan taktik perang tidak diperbolehkan, Alloh SWT berfirman:
وَمَنْ یُوَلِّهِمْ یَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلا مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِنْ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ
جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali membawa kemurkaan dari Alloh, dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. Al-Anfal:16)

Dari sini bisa diketahui bahwa tujuan utama perang adalah memenangkan agama serta merugikan musuh.

Diantara tujuan yang dibenarkan dalam jihad adalah menjaga kekuatan Islam serta agar kaum muslimin tidak begitu saja menemui kehancuran tanpa adanya manfaat militer yang berarti.

Lebih jelas lagi, ini diterangkan dengan kejadian ketika Kholid bin Walid mundur bersama pasukannya dalam perang Mut’ah, sampai Nabi SAW menyebut perbuatannya sebagai kemenangan. Ini tercantum dalam riwayat yang dibawakan Bukhori dari Anas ra. ia berkata: “Bahwasanya Nabi SAW mengkabarkan kematian Zaid, Ja’far dan Ibnu Rowahah ra. sebelum kabar tentang mereka sampai. Beliau bersabda:
أخذ الرایة زید فأصيب ثم أخذ جعفر فأصيب ثم أخذ ابن رواحة فأصيب وعيناه تَذْرِفان
حتى أخذ الرایة سيف من سيوف الله حتى فتح الله عليهم
“Bendera diambil oleh Zaid kemudian ia gugur, lalu diambil oleh Ja’far lalu ia gugur, lalu diambil oleh Ibnu Rowahah kemudian ia gugur — saat itu kedua mata beliau menitikkan air mata — sampai akhirnya bendera diambil oleh salah satu pedang Alloh sehingga Alloh menangkan ia atas mereka.

Saya katakan:
Ini menjelaskan bahwa melindungi kaum muslimn dan kekuatan Islam adalah tujuan yang dibenarkan, dan tidak boleh menyodorkan kaum muslimin kepada kebinasaan tanpa ada manfaat militer yang berarti yaitu kerugian yang diderita musuh.

Hanya, ada beberapa perkara yang dikecualikan, diantaranya adalah bolehnya seseorang maju sendirian untuk mati syahid, ini tidak termasuk menceburkan diri dalam kebinasaan, sebagaimana telah disebutkan pada dua hadits Abu Ayyub ra. dan Barro yang tercantum dalam tafsir firman Alloh SWT:
وَلا تُلْقُوا بِأَیْدِیكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kalian ceburkan diri kalian dalam kebinasaan…” (QS. Al-Baqoroh:195)

Hal ini meskipun diperbolehkan bagi perorangan, namun kematian itu terkait
erat dengan teguh tidak-nya kita menghadapi musuh, yang lebih baik adalah teguh. (Lihat Al-Mughni was Syarhul Kabir (X/553-554)

Kemudian dari sisi operasi jihad, bisa saya katakan bahwa seorang muslim boleh turut serta dalam proyek jihad berbentuk apapun tanpa harus memperdulikan apapun yang menimpa dirinya dan tanpa melihat hasil dari proyek perang ini, dengan empat syarat, yaitu:

Pertama: Masyru’iyyah (disyari’atkan tidaknya operasi tersebut).

Yaitu mengetahui hukum jihad yang ia lakukan, masyru’ (disyari’atkan) dan wajib atau tidak? Ini menjadi landasan, caranya kita mesti mengetahui status
musuh serta hukum Alloh SWT yang berlaku atasnya.

Kedua: Panji perang.

Anda tidak hanya cukup melihat bahwa musuh itu kafir dan pantas diperangi, tetapi ketika akan berperang bersama suatu kelompok, Anda harus tahu bendera dan misi yang diusung oleh kelompok ini; bendera Islam atau bukan?

Kalau kami katakan bendera Islam, maksudnya Islam yang murni tanpa tercampuri oleh unsur ajaran kufur seperti sosialis, demokrasi atau yang lainnya.

Jika para pengusung bendera mengatakan bahwa mereka berjuang demi menegakkan aturan Islam sosialis, atau Islam demokratis, maka semua ini adalah kufur, sebab Islam adalah peraturan yang sudah sempurna. Alloh SWT
berfirman:

الْيَوْمَ أَآْمَلْتُ لَكُمْ دِینَكُمْ
“Hari ini Aku sempurnakan agama kalian…” (QS. Al-Maidah:3).

Bendera yang tercampur aduk seperti ini, apapun kondisinya, tidak boleh berperang di bawahnya. Karena pada hakekatnya Anda menolong panji kekufuran dan sama sekali bukan di jalan Alloh. Rosululloh SAW bersabda:
من قاتل لتكون آلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله
“Barangsiapa berperang agar kalimat Alloh tinggi, maka ia di jalan Alloh.” (Muttafaq ‘Alaih)

Ketiga: Manfaat militer

Tidak boleh nekat maju berperang kecuali sudah mengkaji manfaat militer yang berarti dari perang itu. Sebab tujuan utama perang adalah memenangkan agama.

Terkadang satu operasi jihad dijalankan sebagai satu mata rantai strategis global, operasi itu barangkali tidak begitu berdampak besar, namun dampaknya kembali kepada strategi operasi perang secara umum, seperti sariyyah-sariyyah yang dikirim oleh pimpinan pasukan, mungkin dampak yang akan dicapai hanya dari segi politik yaitu dalam rangka menggentarkan (baca: menteror) musuh saja dan semua ini dibenarkan secara syar’i.

Keempat: Mengambil langkah-langkah pengamanan dan penyelamatan.

Ini bisa dilakukan dengan cara memperketat penjagaan misi dan pasukan.
Bisa juga dengan melakukan teknik-teknik tipu daya, atau dengan menempuh
hal-hal untuk mencapai keselamatan pribadi, seperti mengenakan baju besi,
khoudzah (tameng), menggali parit atau yang lain sebagaimana dilakukan
Rosululloh SAW, beliau mengenakan baju besi dan tameng serta menggali parit meskipun beliau dilindungi Alloh dari gangguan manusia. Alloh SWT
berfirman:
وَاللَّهُ یَعْصِمُكَ مِنْ النَّاسِ

Dan Alloh memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (QS. Al-Maidah:67)

Beliau melakukan hal itu tidak lain karena itu sebagai syari’at bagi kita. Jika terbunuh dan terluka terjadi atas takdir Alloh SWT, maka wajib menolak takdir ini dengan sebab-sebab yang syar’i yang itupun bagian dari takdir Alloh SAW juga, bukan dengan cara pasrah untuk terbunuh dan terluka. Sebab kalau seperti itu orang yang mengatakan perkataan ini berarti harus menyerahkan dirinya Jadi, yang wajib adalah melawan.

Mengenai kaidah ini (yakni, kaidah: menolak takdir dengan takdir), Ibnul Qoyyim Rahimahulloh berkata:

“Syaikhul ‘Aroq Al-Qudwah Abdul Qodir Al-Jailani berkata: “Orang kalau sudah sampai kepada qodho dari qodar biasanya berhenti. Kalau saya tidak, saya merasakan beratnya takdir tersebut lalu aku lawan takdirtakdir kebenaran dengan kebenaran dan untuk kebenaran, lelaki sejati adalah yang melawan takdir (dengan takdir), bukan hanya pasrah kepada takdir.”

— Ibnul Qoyyim melanjutkan — :
“Jika kemaslahatan hamba dalam hidupnya di dunia tidak sempurna kecuali
dengan menolak satu takdir dengan takdir lainnya, maka bagaimana dengan
kehidupan mereka di akherat?

KETIGA:
Bahaya Pengecut

Kebalikan dari sebelumnya, Anda lihat bahwa pengecut dan wahn (cinta dunia dan takut mati) adalah penyakit mematikan yang mengakibatkan umat-umat lain menjadikan umat Islam menjadi bulan-bulanan ibarat orang makan mengeroyok nampan makannya seperti tercantum dalam hadits Tsauban.

Obat penyakit ini adalah mencampakkan sikap kebiasaan hidup senang sebagaimana saya katakan sebelumnya.

Cara yang lain dengan menanamkan pondasi aqidah beriman kepada takdir, yaitu seorang muslim harus tahu bahwa apa yang bakal menimpa dia tidak akan meleset darinya, dan apa yang bakal meleset darinya tidak akan pernah menimpa dirinya. Ajal sudah ditentukan sejak dulu, demikian juga dengan rezeki, apa saja yang menimpa seorang hamba maka itu sudah ditakdirkan di sisi Alloh. Alloh SWT berfirman:
مَآأَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَفِي أَنفُسِكُمْ إِلاَّ فِي آِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى
اللهِ یَسِيرٌ لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَافَاتَكُمْ وَلاَتَفْرَحُوا بِمَآ ءَاتَاآُمْ وَاللهُ لاَیُحِبُّ آُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Tiada sesuatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Alloh. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Alloh tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid:22-23).

Jadi, rezeki dan ajal itu sudah ditakdirkan dan sudah selesai. Oleh karena itu, banyak sekali para salaf yang memakruhkan berdo’a meminta panjang umur.
Mengenai hadits:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ یُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَیُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang suka dilapangkan rezekinya serta dipanjangkan umurnya hendaklah menyambung tali silaturrohmi.” (Muttafaq ‘Alaih dari Anas)

Pendapat yang dirojihkan Ibnu Hajar dan dikuatkan oleh yang lain, yang dimaksud di sini adalah berkah dalam rezeki dan umur, bukan bertambah dari yang sudah ditakdirkan, dan beliau menyebutkan beberapa atsar yang mendukung hal itu. (Fathul Bari (X/415-416).

Hendaknya diketahui bahwa jihad tidak menyegerakan ajal serta tidak menghalangi rezeki.

Hanya saja, bukan berarti sebab-sebab syar’i tidak perlu dijalani, seperti usaha untuk mencari rezeki, memakai baju besi dan menggali parit atau yang lain ketika memerangi musuh sebagaimana disyari’atkan Nabi SAW.

Tidak ada kontradiksi antar iman kepada takdir dan melaksanakan perintah sebagaimana telah dijelaskan.

KEEMPAT:
Bahaya Mundur Dari Perang

Yang saya maksud mundur dari perang di sini adalah ketika kecintaan terhadap kemenangan itu terlalu kuat tertancap di dalam diri, sebagaimana firman Alloh SWT:
وَأُخْرَى تُحِبُّونَهَا نَصْرٌ مِنَ اللَّهِ وَفَتْحٌ قَرِیبٌ
“Dan (ada lagi) karunia lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Alloh dan kemenangan yang dekat (waktunya)…” (QS. As-Shoff:13)

Seorang muslim diperintahkan berjihad secara syar’i dan bukan untuk mewujudkan kemenangan yang sudah pasti akan datang, sama saja apakah kemenangan itu tercapai melalui tangannya atau melalui tangan saudarasaudaranya atau anak-anaknya, berarti ia telah melaksanakan kewajiban dia berjihad dan Insya Alloh pahalanya ada di sisi Alloh. Alloh SWT berfirman:
وَمَنْ یَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ یُدْرِآْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ

“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Alloh dan Rosul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Alloh…” (QS. An-Nisa’:100)

Saya akan lebih perjelas keterangan saya:
Firman Alloh SWT:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لا یُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا یَطَئُونَ مَوْطِئًا یَغِيظُ
الْكُفَّارَ وَلا یَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلا إِلاَّ آُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللَّهَ لا یُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ
وَلا یُنفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلا آَبِيرَةً وَلا یَقْطَعُونَ وَادِیًا إِلاَّ آُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِیَهُمْ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا
آَانُوا یَعْمَلُونَ
“Yang demikian itu karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Alloh. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal sholeh. Sesungguhnya Alloh tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, dan mereka tidak menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal sholeh pula), karena Alloh akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. At-Taubah:120-121)

Ayat ini tidak menyisakan satu kepayahanpun yang dilakukan seorang muslim dalam rangka jihad yang ia lancarkan kepada musuh-musuh Alloh melainkan telah ditetapkan sebagai amal sholeh yang pelakunya diberi pahala, di sana tidak disyaratkan target dan kemenangan harus tercapai.

Sebagai keterangan tambahan, perlu diketahui bahwa orang yang berjihad dan tidak sempat memperoleh ghonimah atau kemenangan, itu lebih besar pahalanya di sisi Alloh SWT daripada orang yang mendapatkan ghonimah dan
kemenangan. Ini disimpulkan dari sabda Rosululloh SAW:
مَا مِنْ غَازِیَةٍ أَوْ سَرِیَّةٍ تَغْزُو فَتَغْنَمُ وَتَسْلَمُ إِلا آَانُوا قَدْ تَعَجَّلُوا ثُلُثَيْ أُجُورِهِمْ وَمَا مِنْ غَازِیَةٍ أَوْ
سَرِیَّةٍ تُخْفِقُ وَتُصَابُ إِلا تَمَّ أُجُورُهُمْ

“Tidak ada satu ghozwah atau sariyyah yang dilakukan kemudian mereka mendapatkan ghonimah dan mereka selamat melainkan mereka telah segerakan sepertiga pahala mereka. Dan tidaklah satu ghozwah atau sariyyah yang tanpa membawa apa-apa atau terluka, melainkan disempurnakan pahala mereka.” (HR. Muslim dari ‘Abdulloh bin ‘Amru)

Yang semisal dari hadits Khobbab bin Al-Arts ra., ia berkata:
هاجرنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم نلتمس وجه الله تعالى فوقع أجرنا على الله، فمِنّا
قتل یوم أحد وترك نَمِرة فكنا إذا ،τ مَنْ مات ولم یأآل من أجره شيئا منهم مصعب بن عمير
غطينا بها رأسه بدت رجلاه وإذا غطينا رجليه بدا رأسه، فأمرنا رسول الله صلى الله عليه
وسلم أن نغطى رأسه ونجعل على رجليه شيئا من الإذخر، ومنا من أینعت له ثمرته فهو
یَهْذِبُها
“Kami berhijrah bersama Rosululloh SAW karena mencari wajah Alloh SWT maka pahala kami ada di sisi Alloh, diantara kami ada yang meninggal dan belum sempat memakan pahalanya sedikitpun, diantara mereka adalah Mush’ab bin Umair ra., ia terbunuh ketika perang Uhud dan beliau hanya meninggalkan sebuah namiroh sehingga apabila kami menutup kepalanya, kedua kakinya kelihatan. Dan jika kami menutup kedua kakinya, kepalanya kelihatan. Akhirnya Rosululloh SAW memerintahkan agar kami menutup kepalanya dan meletakkan pada kakinya sedikit “Idzkhir” diantara kami juga ada yang buahbuahannya matang lalu ia memetiknya. (Aina’at artinya: matang. Yuhdzibuha artinya memetiknya. Ini adalah kata kiasan terhadap dunia yang Alloh bukakan untuk mereka dan mereka berhasil menguasainya. Dan keterangan hadits Abdulloh bin Amru serta hadits Khobbab telah kami kemukakan, dan keduanya adalah nash yang cukup jelas dalam menjelaskan maksud ini)” (Muttafaq ‘Alaih.)

http://abuqital1.wordpress.com/

Monday, July 20, 2009

Mengenal Para Imam Ahlussunnah (Ahli Hadits)

Sesungguhnya tidak ada keselamatan kecuali dengan mengikuti Kitab dan Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah. Tapi kita tidak mungkin mendengar sunnah dan pemahaman mereka kecuali dengan melalui sanad (rantai para rawi). Dan sanad termasuk dalam Dien. Maka lihatlah dari siapa kalian mengambil Dien kalian. Sedangkan yang paling mengerti tentang sanad adalah Ashabulhadits. Maka dalam tulisan ini kita akan lihat betapa tingginya kedudukan mereka. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
"Allah membuat cerah (muka) seorang yang mendengarkan (hadits) dari kami, kemudian menyampaikannya." (Hadits Shahih, H.R. Ahmad, Abu Dawud)

Syaikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali hafidzahullah berkata : "Hadits ini adalah Shahih, diriwayatkan oleh : Imam Ahmad dalam Musnad 5/183,Imam Abu Dawud dalam As Sunan 3/322, Imam Tirmidzi dalam As Sunan 5/33, Imam Ibnu Majah dalam As Sunan 1/84, Imam Ad Darimi dalam As Sunan 1/86, Imam Ibnu Abi Ashim dalam As Sunan 1/45, Ibnul Abdil Barr dalam Jami' Bayanil Ilmi wa Fabhilihi 1/38-39, lihat As Shahihah oleh Al 'Alamah Al Albani (404) yang diriwayatkan dari banyak jalan sampai kepada Zaid bin Tsabit, Jubair bin Muth'im dan Abdullah Bin Mas'ud Radhiallahu 'Anhu"

Hadits ini dinukil oleh Beliau (Syaikh Rabi') dalam kitab kecil yang berjudul Makanatu Ahlil Hadits (Kedudukan Ahli Hadits), yaitu ketika menukil ucapan Imam besar Abu Bakar Ahmad bin Ali Al Khatib Al Baghdadi (wafat 463 H) dari kitabnya Syarafu Ashabil Hadits yang artinya "Kemuliaan Ashabul Hadits." Dalam kitab tersebut, beliau menjelaskan kemuliaan dan ketinggian derajat Ahlul Hadits.

Demikian pula beliau juga menjelaskan jasa-jasa mereka dan usaha mereka dalam membela Dien ini, serta menjaganya dari berbagai macam bid'ah. Diantara pujian beliau kepada mereka, beliau mengatakan : "Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan golongannya (Ahlul Hadits) sebagai tonggak syariat. Melalui usaha mereka, Dia (Allah) menghancurkan setiap keburukan bid'ah. Merekalah kepercayaan Allah Subhanahu wa Ta'ala diantara makhluk-makhluk-Nya, sebagai perantara antara Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dan umatnya. Dan merekalah yang bersungguh-sungguh dalam menjaga millah (Dien)-Nya. Cahaya mereka terang, keutamaan mereka merata, tanda-tanda mereka jelas, madzhab mereka unggul, hujjah mereka tegas. ."

Setelah mengutip hadits di atas, Al Khatib rahimahullah menukil ucapan Sufyan Bin Uyainah rahimahullah dengan sanadnya bahwa dia mengatakan : "Tidak seorangpun mencari hadits (mempelajari hadits) kecuali pada mukanya ada kecerahan karena ucapan Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam : (Kemudian menyebutkan hadits di atas). Kemudian, setelah meriwayatkan hadits-hadits tentang wasiat Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam untuk memuliakan Ashabul Hadits, Beliau meriwayatkan hadits berikut :

"Islam dimulai dengan keasingan dan akan kembali asing,maka berbahagialah orang-orang yang (dianggap) asing." (H.R. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnul Majah)

Syaikh Rabi' berkata : "Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya 1/130, Imam Ahmad dalam Musnad-nya 1/398, Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya 5/19, Imam Ibnu Majah dalam Sunnah-nya 2/1319, dan Imam Ad Darimi dalam Sunan-nya 2/402."

Setelah meriwayatkan hadits ini, Al Khatib menukil ucapan Abdan rahimahullah dari Abu Hurairah dan Ibnu Mas'ud Radhiallahu 'Anhu : "Mereka adalah Ashabulhadits yang pertama." Kemudian meriwayatkan hadits :

"Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh sekian firqah, semuanya dalam neraka kecuali satu."

Syaikh Rabi' berkata : "Hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad 2/332. Imam Abu Dawud dalam Sunan 4/197, dan Hakim dalam Al Mustadrak 1/128. Lihat Ash Shahihah oleh Syaikh kita Al 'Alamah Al Albani (203)."

Beliau (Al Khatib) kemudian mengucapkan dengan sanadnya sampai ke Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah bahwa dia berkata : "Tentang golongan yang selamat, kalau mereka bukan Ahlul Hadits, saya tidak tahu siapa mereka." (Hal. 13, Syaraful Ashhabil Hadits oleh Al Khatib). Kemudian Syaikh Al Khatib menyebutkan hadits tentang Thaifah yang selalu tegak dengan kebenaran :

"Akan tetap ada sekelompok dari umatku di atas kebenaran. Tidak merugikan mereka orang-orang yang mengacuhkan (membiarkan, tidak menolong)mereka sampai datangnya hari kiamat." (H.R. Muslim, Ahmad,Abu Dawud)

Syaikh Rabi' berkata : "Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya 3/1523, Imam Ahmad dalam Musnad 5/278-279, Imam Abu Dawud dalam Sunan 4/420, Imam Ibnu Majah dalam Sunan 1/4-5, Hakim dalam Mustadrak 4/449-450, Thabrani dalam Mu'jamul kabir 76643, dan Ath Thayalisi dalam Musnad halaman 94 no.689. lihat Ash Shahihah oleh Al 'Alamah Al Abani 270-1955."

Kemudian berkata (Al Khatib Al Baghdadi) : Yazid bin Harun berkata : "Kalau mereka bukan Ashabul Hadits, aku tidak tahu siapa mereka." Setelah itu beliau meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Abdullah bin Mubarak, dia berkata : "Mereka menurutku adalah Ashabul Hadits." Kemudian meriwayatkan juga dengan sanadnya dari Imam Ahmad bin Sinan dan Ali Ibnul Madini bahwa mereka berkata : "Sesungguhnya mereka adalah Ashabul Hadits, Ahli Ilmu dan Atsar" (Hal. 14 - 15)

Demikianlah para ulama mengatakan bahwa Firqah Naajiah (golongan yang selamat) yaitu golongan yang selalu tegak dengan kebenaran dan selalu ditolong (Thaifah Manshurah), yaitu orang-orang yang asing(Ghuraba') di tengah-tengah kaum Muslimin yang sudah tercemar dengan berbagai macam bid'ah dan penyelewengan dari Manhaj As Sunnah dan Ashabul Hadits.

Siapakah Ashabul Hadits ?

Hadits yang pertama yang kita sebutkan menunjukkan ciri khas Ashabul Hadits, yaitu mendengarkan Hadits kemudian menyampaikannya. Dengan demikian, mereka bisa kita katakan sebagai para ulama yang mempelajari Hadits, memahami sanad, meneliti mana yang Shahih mana yang Dha'if, kemudian mengamalkannya dan menyampaikannya. Merekalah pembela As Sunnah, pemelihara Dien dan pewaris Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam serta Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu yang kemudian dibawa Ahlulhadits ini. Seorang ahli fiqih tanpa ilmu hadits adalah Aqlani (rasionalis) dan Ahli tafsir tanpa ilmu hadits adalah ahli takwil.

Imam Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah (wafat 276 H) berkata : ".Adapun Ashabul Hadits, sesunggguhnya mereka mencari kebenaran dari sisi yang benar dan mengikutinya dari tempatnya.

Mereka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mengikuti sunnah Rasul Shalallahu 'Alaihi wa Sallam serta mencari jejak-jejak dan berita-beritanya (Hadits), baik itu di darat dan di laut, di Barat maupun di Timur. Salah seorang dari mereka bahkan mengadakan perjalanan jauh dengan berjalan kaki hanya untuk mencari berita atau satu hadits, agar dia mengambilnya langsung dari penukilnya (secara dialog langsung).

Mereka terus membahas dan menyaring berita-berita (riwayat-riwayat) tersebut sampai mereka memahami mana yang shahih dan mana yang lemah, yang nasikh dan yang manshuk, dan mengetahui dari kalangan fuqaha' yang menyelisihi berita-berita tersebut dengan pendapatnya (ra'yu-nya), lalu memperingatkan mereka. Dengan demikian, Al Haq yang tadinya redup kembali bercahaya, yang tadinya kusam menjadi cerah, yang tadinya bercerai berai menjadi terkumpul.

Demikian pula orang-orang yang tadinya menjauh dari sunnah, menjadi terikat dengannya, yang tadinya lalai menjadi ingat kepadanya, dan yang dulunya berhukum dengan ucapan fulan bin fulan menjadi berhukum dengan ucapan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam " (Ta'wil Mukhtalafil Hadits dalam Muqaddimah)

Imam Abu Hatim Muhammad Ibnun Hibban bin Mu'adz bin Ma'bad bin Said At Tamimi (wafat 354 H) berkata : ".Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala memilih sekelompok manusia dari kalangan pengikut jalan yang baik dalam mengikuti sunnah dan atsar untuk memberi petunjuk kepada mereka agar selalu taat kepada-Nya.

Allah indahkan hati-hati mereka dan memberikan pada lisan-lisan mereka Al Bayan (keterangan), yaitu mereka yang menyingkap rambu-rambu Dien-Nya, mengikuti sunnah-sunnah Rasul-Nya dengan menelusuri jalan-jalan yang panjang, meningggalkan keluarga dan negerinya, untuk mengumpulkan sunnah-sunnah dan menolak hawa nafsu (bid'ah).

Mereka mendalami sunnah dengan menjauhi ra'yu..". Pada akhirnya beliau mengatakan : "Hingga Allah Subhanahu wa Ta'ala memelihara Dien ini lewat mereka untuk kaum Muslimin dan melindunginya dari rongrongan para pencela. Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan mereka sebagai imam-imam (panutan-panutan) yang mendapatkan petunjuk di saat terjadi perselisihan dan menjadikan mereka sebagai pelita malam di saat terjadi fitnah. Maka merekalah pewaris-pewaris para Nabi dan orang-orang pilihan.." (Al Ihsan 1/20-23)

Imam Abu Muhammad Al Hasan Ibnu Abdurrahman bin Khalad Ar Ramhurmuzi (wafat 360 H) berkata : "Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuliakan Hadits dan memuliakan golongannya (Ahlul Hadits). Allah Subhanahu wa Ta'ala juga meninggikan kedudukannya dan hukumnya di atas seluruh aliran. Didahulukannya dia (Hadits) diatas semua ilmu serta diangkatnya nama-nama para pembawanya yang memperhatikannya. Maka jadilah mereka (Ahlul Hadits) inti agama dan tempat bercahayanya hujjah. Bagaimana mereka tidak mendapatkan keutamaan dan tidak berhak mendapatkan kedudukan yang tinggi, sedangkan mereka adalah penjaga-penjaga Dien ini atas umatnya." (Al Muhadditsul Fashil 1-4).

Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Al Hakim An Nisaburi (wafat 405 H) berkata setelah meriwayatkan dengan sanadnya dua ucapan tentang Ahlul Hadits (yang artinya) : Umar bin Hafs bin Ghayyats berkata : Aku mendengar ayahku ketika dikatakan kepadanya : "Tidaklah engkau melihat Ashabul Hadits dan apa yang ada pada mereka ?" Dia berkata : "Mereka sebaik-baik penduduk bumi" dan riwayat dari Abu bakarbin Ayyash : "Sungguh aku berharap Ahli Hadits adalah sebaik-baik manusia. " kemudian beliau (Abu Abdullah Al Hakim) berkata : "Keduanya telah benar bahwa Ashabul Hadits adalah sebaik baik manusia. Bagaimana tidak demikian? Mereka telah mengorbankan dunia seluruhnya di belakang mereka . Kemudian menjadikan penulisan sebagai makanan mereka, penelitian sebagai hidangan mereka, mengulang-ulang sebagai istirahat mereka.."

Dan akhirnya beliau mengatakan : "Maka akal-akal mereka dipenuhi dengan kelezatan kepada sunnah. Hati-hati mereka diramaikan dengan keridhaan dalam berbagai keadaan. Kebahagiaan mereka adalah mempelajari sunnah. Hobi mereka adalah majelis-majelis ilmu. Saudara mereka adalah seluruh Ahlus Sunnah dan musuh mereka adalah seluruh Ahlul Ilhad dan Ahlul Bid'ah." (Ma'rifatu Ulumul Hadits 1-4)

Berkata Syaikh Rabi bin Hadi Al Madkhali tentang Ashabul Hadits : "Mereka adalah orang-orang yang menjalani manhaj para sahabat dan tabi'in, yang mengikuti mereka dengan ihsan dalam berpegang dalam kitab dan sunnah, dan menggigit keduanya dengan geraham meerka, mendahulukan keduanya da atas semua ucapan dan petunjuk, apakah itu dalam masalah aqidah, ibadah, muamalah, akhlak, politik, ataukah sosial.

Oleh sebab itu , mereka adalah orang-orang yang mantap dalam dasar-dasar dan cabang-cabang Dien ini, sesuai dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala turunkan dan wahyukan kepada Rasul-Nya Shalallahu 'Alaihi wa Sallam

Mereka tegak dalam dakwah, mengajak kepada yang demikian dengan sungguh-sungguh dan jujur dengan tekad yang kuat. Merekalah pembawa-pembawa ilmu Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dan membersihkannya dari penyelewengan orang-orang yang melampaui batas, dari kedustaan orang-orang yang bathil dan dari takwilnya orang-orang yang bodoh .

Oleh karena itu mereka selalu mengintai, memperhatikan setiap firqah-firqah yang menyeleweng dari manhaj Islam seperti Jahmiyyah, Mu'tazilah, Khawarij, Rafidhah, Murji'ah, Qadariyyah, dan setiap firqaah yang menyempal dari manhaj Allah di setiap jaman dan setiap tempat. Mereka tidak peduli dengan celaan orang-orang yang mencela.."

Beliau pun akhirnya menyebut mereka dengan sebutan golongan yang selamat (Firqatun Naajiah) yang selalu tegak dengan kebenaran dan selalu ditolong oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala (Thaifah Manshurah)
kemudian berkata : "Mereka setelah sahabat Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dengan pimpinan mereka, Al Khulafaur Rasyidin, adalah para tabi'in. Diantara tokoh-tokoh mereka adalah :

Sa'id bin Musayyab (wafat setelah 90 H)

Urwah bin Zubair(wafat 94 H)

Ali bin Husain Zainal Abidin (wafat93 H)

Muhammad Ibnul Hanafiyyah (wafat80 H0

Ubaidillah bin Abdullah bin Umar (wafat 106 H)

Al Qasim bin Muhammad bin Muhammad bin abu bakar Ash Shiddiq (wafat 106 H)

Al Hasan Al Bashri (wafat 110 h)

Muhammad bin Sirrin (wafat 110 H)

Umar bin Abdul Aziz (wafat 101 H0

Muhammad bin Syihab Az Zuhri (wafat 125 H) dan lain lain

Kemudian diantara tabi'ut tabi'in (pengikut tabi'in) tokoh-tokoh mereka adalah :

Imam Malik (wafat 179 H)

Al Auza'i (wafat 198 H)

Sufyan Ats Tsauri (wafat 161 H)

Sufyan bin Uyainah (wafat198 H)

Ismail bin Ulayyah (wafat 198 H)

Al Laits bin Sa'd (wafat 175 H)

Abu Hanifah An Nu'man (wafat 150 H) dan lain-lain.

Setelah tabiut tabi'in adalah pengikut mereka, diantaranya :

Abdullah ibnu mubarak (wafat 181 H)

Waqi' bin Jarrah (wafat 197 H)

Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi'i (wafat 204 H)

Abdurrahman bin Mahdi (198 H)

Yahya bin Said Al Qattan (wafat 198 H)

Affan bin Muslim (wafat 219 H) dan lain-lain.

Kemudian pengikut mereka yang menjalani manhaj mereka diantaranya :

Imam Ahmad bin Hambal (wafat 241 H)

Yahya bin Main (wafat 233 H)

Ali Ibnul Madini (wafat 234 H), dan lain-lain.

Kemudian murid-murid mereka seperti :

Al Bukhari (wafat 256 H)


Muslim (wafat 261 H)

Abu Hatim (wafat 277 H)

Abu Zur'ah (wafat 264 H)

Abu Dawud (wafat 275 H)

At Tirmidzi (wafat 279 H)

An Nasa'I (wafat 303 H), dan lain-lain.

Setelah itu orang-orang generasi berikutnya yang berjalan di jalan mereka adalah :

Ibnu Jarir At Thabari (wafat 310 H)

Ibnul Khuzaimah (wafat 311 H)

Ad Daruquthni (wafat 385 H)

Ibnul Abdil Barr (wafat 463 H)

Abdul Ghani Al Maqdisi sdan Ibnul Qudamah (wafat 620 H)
Ibnu Shalih (wafat 743 H)

Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H)

Al Muzzi (wafat 743 H)

Adz Dzahabi (wafat 748 H)

Ibnu Katsir (wafat 774 H)

Dan ulama yang seangkatan di zaman mereka.

Kemudian yang setelahnya yang mengikuti jejak mereka dalam berpegang dengan kitab dan sunnah sampai hari ini. Mereka itulah yang kita sebut dengan Ashabul Hadits.

PEMBELAAN MEREKA TERHADAP AQIDAH

Sebagaimana telah disebutkan di atas, mereka adalah pembawa ilmu dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam Mereka membelanya dan membersihkannya dari penyelewengan, kedustaan dan takwil-takwil ahli bid'ah

Maka, ketika muncul ahli bid'ah yang pertama, yaitu Khawarij, Ali dan para Sahabat radhiallahu anhum bangkit membantah mereka, kemudian memerangi mereka dan mengambil dari Rasululah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam riwayat-riwayat yang menyuruh unntuk membunuh mereka dan mengkhabarkan bahwa membunuh mereka adalah sebaik-baik pendekatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala (Lihat Mawaqifush Shahabah fi Fitnah Bab 3 Juz 2 hal 191 oleh Dr. Muhammad Ahmazun)

Ketika Syiah muncul, Ali Radhiallahu 'Anhu mencambuk orang-orang yang mengatakan dirinya lebih baik daripada Abu Bakar dan Umar dengan delapan puluh kali cambukan. Dan orang-orang ekstrim di kalangan mereka yang mengangkat Ali Radhiallahu 'Anhu sampai kepada tingkatan Uluhiyyah (ketuhanan), dibakar deengan api. (Lihat Fatawa Syaikhul Islam)

Demikian pula ketika sampai kepada Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'Anhu berita tentang suatu kaum yamg menafikan (menolak) takdir dan mengatakan bahwa menurut mereka perkara ini terjadi begitu saja (kebetulan), beliau mengatakan kepada pembawa berita tersebut : "Jika engkau bertemu mereka, khabarkanlah pada mereka bahwa aku berlepas diri (bara') dari meerka dan mereka berlepas diri dariku ! Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalau salah seorang mereka memiliki emas segunung uhud, kemudian diinfaqkan di jalan Allah, Allah tidak akan menerima daripadanya sampai dia beriman dedngan taqdir baik dan buruknya." (H.R. Muslim 1/36)

Imam Malik pun ketika ditanya tentang orang yang mengatakan bahwa Al Qur'an itu makhluk, maka beliau berkata : "Dia menurut pendapat adalah kafir, bunuhlah dia !" Juga Ibnul Mubarak, Al Laits bin Sa'ad, Ibnun Uyainah, Hasyim, Ali bin Ashim, Hafs bin Ghayats maupun Waqi bin Jarrah sependapat dengannya. Pendapat yang seperti ini juga diriwayatkan dari Imam Tsauri, Wahab bin Jarir dan Yazid bin Harun. (Mereka semua mengatakan) : Orang-orang itu diminta untuk taubat, kalau tidak mau dipenggal kepala mereka. (Syarah Ushul I'tikad 494, Khalqu Af'alil Ibad hal 25, Asy'ariyah oleh Al Ajuri hal. 79, dan Syarhus Sunnah/ Al Baghawi 1/187)

Rabi' bin Sulaiman Al Muradi, sahabat Imam Syafi'i, berkata : "Ketika Haf Al Fardi mengajak bicara Imam Syafi'i dan ia mengatakan bahwa Al Qur'an itu makhluk, maka Imam berkata kepadanya : "Engkau telah kafir kepada Allah Yang Maha Agung."

Imam Malik pernah ditanya tentang bagaimana istiwa' Allah di atas 'Arsy-Nya, maka dia mengatakan : "Istiwa' sudah diketahui (maknanya), sedangkan bagaimananya tidak diketahui. Dan pertanyaan tentang itu adalah bid'ah dan aku tidak melihatmu kecuali Ahli Bid'ah !" Kemudian (orang yang bertanya tentang itu) diperintahkan untuk keluar dan Beliau menegaskan bahwa sesungguhnya Allah itu di langit. Dan beliau pernah mengeluarkan seseorang dari majelisnya karena dia seorang Murji'ah. (Syarah Ushul I'tiqad 664)

Said bin Amir berkata : "Al Jahmiyyah lebih jelek ucapannya daripada Yahudi dan Nashrani dan seluruh penganut agama (samawi), telah sepakat bahwa Allah Tabaraka wa Ta'ala di atas Arsy-Nya, tapi mereka (Al Jahmiyyah) mengatakan tidak ada sesuatu pun di atas Arsy." (Khalqu Af'alil Ibad Hal. 15)

Ibnul Mubarak berkata : "Kami tidak mengatakan seperti ucapan Jahmiyyah bahwa Dia (Allah) itu di bumi. Tetapi (kami katakan) Allah di atas Arsy-Nya ber-istiwa'." Ketika ditanyakan kepadanya : "Bagaimana kita mengenali Rabb kita ?" Beliau berkata : "Di atas Arsy.Sesungguhnya kami bisa mengisahkan ucapan Yahudi dan Nashrani, tapi kami tidak mampu untuk mengisahkan ucapan Jahmiyyah." (Khalqu Af'alil Ibad / Bukhari hal. 15 As Sunnah /Abdullah bin Ahmad bin Hambal 1/111 dan Radd Alal Jahmiyyah / Ad Darimi hal. 21 dan 184)

Imam Bukhari berkata : "Aku telah melihat ucapan Yahudi, Nashara dan Majusi. Tetapi aku tidak melihat yang lebih sesat dalam kekufuran selain mereka (Jahmiyyah) dan sesungguhnya aku menganggap bodoh siapa yang tidak mengkafirkan mereka kecuali yang tidak mengetahui kekufuran mereka." (Khalqu Af'alil Ibad hal. 19)

Dikeluarkan oleh Baihaqi dengan sanad yang baik dari Al Auza'i bahwa dia berkata : "Kami dan seluruh tabi'in mengatakan bahwa sesungguhnya Allah di atas Arsy-Nya dan kami beriman dengan sifat-sifat yang diriwayatkan dalam sunnah."

Abul Qasim menyebutkan sanadnya sampai ke Muhammad bin Hasan Asy Syaibani bahwa dia berkata : "Seluruh fuqaha' (ulama) di timur dan di barat telah sepakat atas keimanan kepada Al Qur'an dan Al Hadits yang dibawa oleh rawi-rawi yang tsiqqah (terpecaya) dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam tentang sifat-sifat Rabb Subhanahu wa Ta'ala tanpa tasybih (penyerupaan) dan tanpa tafsir (takwil). Barangsiapa menafsirkan sesuatu daripadanya dan mengucapkan seperti ucapan Jahm (bin Sofyan), maka dia telah keluar dari apa yamg ada di atasnya Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, dan dia telah memisahkan diri dari Al Jama'ah karena telah mensifati Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sifat yang tidak ada." (Syarah Usul I'tiqad ahlus Sunnah 740)

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Manaqib Syafi'i dari Yunus bin Abdul A'la : Aku mendengar Imam Syafi'i berkata : "Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang tidak seorangpun bisa menolaknya. Barangsiapa yang menyelisihinya setelah tetap (jelas) baginya hujjah, maka dia telah kafir. Adapun jika (menyelisihinya ) sebelum tegaknya hujjah, maka dia dimaklumi karena bodoh. Karena ilmu tentangnya tidak bisa dicapai dengan akal dan mimpi. Tidak pula dengan pemikiran. Oleh sebab itu, kami menetapkan sifat-sifat ini dan menafikkan tasybih sebagaimana Allah menafikkan dari dirinya sendiri." (Lihat Fathul Bari 13/406-407)

Abu Isa Muhammad bin Isa At Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan hadits tentang Allah menerima sedekah dengan tangan kanannya (muttafaqun alaih), katanya : "Tidak hanya satu dari Ahli Ilmu (ulama) yang telah berkata tentang hadits ini dan yang mirip dengan ini dari riwayat-riwayat tentang sifat-sifat Allah seperti turunnya Allah Subhanahu wa Ta'ala setiap malam ke langit dunia. Mereka semua mengatakan : Telah tetap riwayat-riwayat tentangnya , diimani dengannya , tidak menduga-duga dan tidak mengatakan "bagaimana". Demikian pula ucapan seluruh Ahli Ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah."

Demikianlah contoh ucapan-ucapan mereka dalam menjaga dan membela aqidah ini yang bersumber dari Al Qur'an dan Sunnah. Al Khatib Al Baghdadi rahimahullah menukil dari Abu Hatim dari Abdullah bin Dawud Al Khuraibi bahwa Ashabul Hadits dan pembawa-pembawa ilmu adalah kepercayaan Allah atas Dien-Nya dan penjaga-penjaga atas sunnah Nabi-Nya, selama mereka berilmu dan beramal.

Ditegaskan oleh Imam Ats Tsauri Rahimahullah : "Malaikat adalah penjaga-penjaga langit dan Ashabul Hadits adalah penjaga-penjaga dunia." Ibnu Zura'i juga mengatakan : "Setiap Dien memiliki pasukan berkuda. Maka pasukan berkuda dalam Dien ini adalah Ashabul Asanid (Ashabul Hadits)."

Mereka memang benar. Ashabul Hadits adalah pasukan inti dalam Dien ini. Mereka membela dan menjaga Dien dari penyelewengan, kesesatan dan kedustaan orang-orang munafiqin dan Ahlul Bid'ah. Hampir semua Ashabul Hadits menulis kitab-kitab Ahlus Sunnah serta membantah aqidah dan pemahaman-pemahaman bid'ah yang dan sesat, baik itu fuqaha' (ahli fikih) mereka, mufassir (ahli tafsir) mereka maupun seluruh ulama-ulama dari kalangan mereka (Ahlul Hadits). Semoga Allah memberi pahala bagi mereka dengan amalan-amalan mereka, dan memberi pahala atas usaha mereka yang sampai hari ini dirasakan manfaatnya oleh kaum Muslimin dengan ilmu-ilmu yang mereka tulis, riwayat-riwayat yang mereka kumpulkan dan hadits-hadits yang mereka periksa.

Akhirnya, marilah kita simak perkataan Imam Syafi'i rahimahullah ini : "Jika aku melihat seseorang dari Ashabul Hadits, maka seakan-akan aku melihat Nabi hidup kembali." (Syaraf Ashabul Hadits hal. 26)

Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang lebih dulu beriman daripada kami. Dan janganlah Engkau jadikan di hati kami kebencian atau kedengkian kepada mereka. Wahai Rabb kami, sesunggguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Amien Ya Rabbal 'Alamin.

KAIDAH DAN PRINSIP AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH DALAM MENGAMBIL DAN MENGGUNAKAN DALIL [1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


[1]. Sumber ‘aqidah adalah Kitabullah (al-Qur-an), Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih dan ijma' Salafush Shalih.

[2]. Setiap Sunnah yang shahih yang berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib diterima, walaupun sifatnya Ahad.[2]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terima-malah dia. Dan apa-apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” [Al-Hasyr: 7]

[3]. Yang menjadi rujukan dalam memahami al-Qur-an dan as- Sunnah adalah nash-nash (teks al-Qur-an maupun hadits) yang menjelaskannya, pemahaman Salafush Shalih dan para Imam yang mengikuti jejak mereka, serta dilihat arti yang benar dari bahasa Arab. Namun jika hal tersebut sudah benar, maka tidak dipertentangkan lagi dengan hal-hal yang berupa kemungkinan sifatnya menurut bahasa.

[4]. Prinsip - prinsip utama dalam agama (Ushuluddin), semua telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Siapapun tidak berhak untuk mengadakan sesuatu yang baru, yang tidak ada contoh sebelumnya, apalagi sampai mengatakan hal tersebut bagian dari agama. Allah telah menyempurnakan agamaNya, wahyu telah terputus dan kenabian telah ditutup, sebagaimana Allah berfirman:

“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [Al-Maaidah : 3].

RasulullahShallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka amalan-nya tertolak” [3]

[5]. Berserah diri (taslim), patuh dan taat hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, secara lahir dan bathin. Tidak menolak sesuatu dari al-Quran dan as- Sunnah yang shahih, (baik menolaknya itu) dengan qiyas (analogi), perasaan, kasyf (iluminasi atau penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghaib), ucapan seorang Syaikh, ataupun pendapat imam-imam dan lainnya.

[6.] Dalil ‘aqli (akal) yang benar akan sesuai dengan dalil naqli/nash yang shahih. Sesuatu yang qath'i (pasti) dari kedua dalil tersebut, tidak akan bertentangan selamanya. Apabila sepertinya ada pertentangan di antara keduanya, maka dalil naqli (ayat ataupun hadits) harus didahulukan.

[7]. Rasulullah 'Alaihi shallatu wa sallam adalah ma'shum (dipelihara Allah dari kesalahan) dan para Shahabat Radhiyallahu ajmain secara keseluruhan dijauhkan Allah dari kesepakatan di atas kesesatan. Namun secara individu, tidak ada seorang pun dari mereka yang ma'shum. Jika ada perbedaan di antara para Imam atau yang selain mereka, maka perkara tersebut dikembalikan pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah j dengan me-maafkan orang yang keliru dan berprasangka baik bahwa ia adalah orang yang berijtihad.

[8]. Bertengkar dalam masalah agama itu tercela, akan tetapi mujadalah (berbantahan) dengan cara yang baik itu masyru‘ah (disyariatkan). Dalam hal yang telah jelas (ada dalil dan keterangannya dalam al-Quran dan as- Sunnah ) dilarang berlarut-larut dalam pembicaraan panjang tentangnya, maka wajib mengikuti ketetapan dan menjauhi larangannya. Dan wajib menjauhkan diri untuk berlarut-larut dalam pembicaraan yang memang tidak ada ilmu bagi seorang muslim tentangnya (misalnya tentang Sifat Allah, qadha' dan qadar, tentang ruh dan lainnya, yang ditegaskan bahwa itu termasuk urusan Allah Azza wa Jalla). Selanjutnya sudah selayaknya menyerahkan hal tersebut kepada Allah Azza wa Jalla.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Tidaklah sesat suatu kaum setelah Allah memberikan petunjuk atas mereka kecuali mereka berbantah-bantahan kemudian membacakan ayat: ‘...Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud mem-bantah saja...'” [Az-Zukhruf : 58] [4]

[9]. Kaum Muslimin wajib senantiasa mengikuti manhaj (metode) al-Quran dan as- Sunnah dalam menolak sesuatu, dalam hal ‘aqidah dan dalam menjelaskan suatu masalah. Oleh karena itu, suatu bid‘ah tidak boleh dibalas dengan bid'ah lagi, kekurangan tidak boleh dibalas dengan berlebih-lebihan atau sebaliknya.[5]

[10]. Setiap perkara baru yang tidak ada sebelumnya di dalam agama adalah bid‘ah. Setiap bid‘ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Setiap bid‘ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka." [6]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa‘ah (hal. 44-45), Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa‘ah fil ‘Aqiidah (hal 5-9) karya Dr. Nashir bin ‘Abdil Karim al ‘Aql dan kitab-kitab lainnya.
[2]. Hadits ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat atau lebih, tetapi periwayatannya dalam jumlah yang terhitung.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718), dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha.
[4]. HR. At-Tirmidzi (no. 3250), Ibnu Majah (no. 48), Ahmad (V/252, 256), disha-hihkan oleh al-Hakim (II/447-448) dan disepakati adz-Dzahabi. At-Tirmidzi ber-kata, “Hadits ini hasan.” Dari Shahabat Abu Umamah al-Bahily Radhiyallahu 'anhu
[5]. Maksud dari pernyataan ini adalah tentang bid'ahnya Jahmiyyah yang menafikan Sifat-Sifat Allah, dibantah oleh Musyabbihah (Mujassimah) yang menyamakan Allah dengan makhluk-Nya, atau seperti bid'ahnya Qadariyyah yang mengatakan bahwa makhluk mempunyai kemampuan dan kekuasaan yang tidak dicampuri oleh kekuasaan Allah ditentang oleh Jabariyyah yang mengatakan bahwa makhluk tidak mempunyai kekuasaan dan makhluk ini dipaksa menurut pendapat mereka. Ini adalah contoh tentang bid'ah yang dilawan dengan bid'ah. Wallaahu a'lam.
[6]. HR. An-Nasa-i (III/189) dari Jabir Radhiyallahu 'anhu dengan sanad yang shahih. Lihat Shahih Sunan an-Nasa-i (I/346 no. 1487) dan Misykatul Mashaabih (I/51).

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1299&bagian=0