Friday, June 26, 2009

Tugas orang-orang yang berkuasa

KH. Abdul Rasyid AS. (Pimpinan Perguruan As Syafiiyyah)
(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. (QS. Al Hajj 41).

Dalam tafsir Al Muharrir al Wajiz dikatakan bahwa ayat tersebut diturunkan tentang para sahabat Rasulullah saw., lebih khusus tentang Khulafaur Rasyidin yang empat (Khalifah Abu Bakar Shiddiq r.a., Umar bin Al Khaththab r.a., Utsman bin Affan r.a., dan Ali bin Abi Thalib r.a.). Namun secara umum ditujukan kepada siapa saja di antara umat manusia yang mendapatkan kekuasaan di muka bumi.
Orang-orang yang mendapatkan kekuasaan itu mendirikan sholat dan menunaikan zakat, serta memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar. Tentang sholat dan zakat ini adalah perkara mendasar yang harus ditegakkan. Sedangkan memerintahkan yang makruf (al makruf) dan melarang yang mungkar (al munkar) dilaksanakan sesuai kekuatannya sebagai penguasa. Sebab, huruf “al” dalam “al makruf” dan “al munkar” dalam ayat tersebut memberikan pengertian umum, yakni “al makruf” mencakup pengertian “al iman” dan segala perkara yang ada di bawahnya, sedangkan “al munkar” mencakup pengertian “al kufur” dan segala perkara yang ada di bawahnya.

Misi Penguasa Muslim

Dengan demikian orang-orang yang dikokohkan posisinya di muka bumi, yakni para penguasa muslim memiliki misi mulia mengajak kepada keimanan dan segala amal sholih, baik yang terkategori wajib maupun yang terkategori sunnah. Bahkan dalam perkara amal sholih yang mungkin dianggap sepele pun Rasulullah saw. tetap menganjurkan agar diperhatikan sebagaimana sabdanya: “ Janganlah kalian meremehkan suatu perbuatan makruf sedikitpun, walaupun sekedar kalian ketemu dengan saudara kalian dengan wajah yang berseri-seri”. Tentu saja sebaliknya penguasa muslim punya misi untuk menghilangkan kekufuran dan perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah SWT.

Tentang misi penguasa muslim ini diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. memerintahkan kepada penguasa Yaman untuk mengajak mereka terlebih dahulu masuk Islam, sebagaimana Sabda Nabi saw. kepada Muadz bin Jabal ketika menugaskannya menjadi wali (semacam gubernur) di Yaman:

ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa aku adalah Rasulullah. Kalau mereka mentaati hal itu maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka sholat lima waktu dalam sehari semalam. Jika mereka mentaati hal itu maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah SWT mewajibkan zakat atas harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk dikembalikan kepada orang-orang fakir di antara mereka…(Sahih Bukhari Juz 5/201).

Selain mengajak kepada Islam, memerintahkan rakyat melaksanakan sholat dan membayar zakat, juga penguasa muslim wajib menasihati rakyatnya agar hidup sesuai dengan ajaran Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah seorang hamba yang diberi kekuasaan untuk mengatur rakyat muslim dan tidak menasihati rakyatnya, melainkan dia tidak mencium harumnya surga”.

Selain menasihati, penguasa muslim dengan kekuasaannya wajib menghilangkan segala bentuk kemungkaran. Baik itu puncak kemungkaran, yakni kekufuran, kemurtadan, dan kemusyrifan, maupun kemungkaran yang lebih rendah seperti pelanggaran hukum-hukum hudud. Khalifah Abu Bakar r.a. mengirim 10 divisi pasukan kaum muslimin untuk menasihati dan mengembalikan orang-orang yang murtad agar kembali kepada Islam. Mereka yang tidak mau kembali diperangi dan dihukum mati. Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. pernah memenjarakan para ahli nujum yang meramalkan nasib dan hari-hari naasnya.

Tugas penguasa muslim hari ini

Penguasa muslim hari ini mendorong dan menegakkan sholat jamaah lima waktu di masjid-masjid maupun musholla, serta menarik zakat dari kaum muslim yang kaya untuk mengangkat kemampuan ekonomi kaum dhuafa. Juga wajib menyeru manusia kepada system kehidupan Islam yang kaffah, baik system ekonomi, politik, pendidikan, hankam, dan lain-lain dengan menggunakan stasiun TV negara, radio, koran-koran maupun berbagai sarana lainnya. Selain itu, penguasa muslim wajib mengadakan pendidikan Islam yang melahirkan pribadi-pribadi muslim yang mulia dan punya keunggulan dalam kemampuan dan ketrampilan sains dan teknologi. Dan penguasa muslim tidak boleh melalaikan penegakan hukum syariat untuk menjaga hak-hak masyarakat dan menghilangkan berbagai kemaksiatan dan kemungkaran. Bila semua tugas tersebut dikerjakan dengan baik, niscaya terwujudlah negeri kita menjadi negeri yang disebut Allah SWT baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Wallahua’lam!

http://suara-islam.com/index.php/Ibrah/TUGAS-ORANG-ORANG-YANG-BERKUASA.html

Membangun Jamaah Dakwah dan Amar Makruf Nahi Munkar

KH. Abdul Rasyid AS (Pimpinan Perguruan As Syafiiyyah)

Allah SWT berfirman:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran 104).

Wajib adanya kelompok dakwah

Dalam ayat di atas Allah SWT memerintahkan kepada kita umat Islam agar membangun segolongan atau sekelompok orang yang memiliki tugas menyeru kepada kebajikan (al khair), menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Pujian Allah SWT dalam akhir ayat tersebut, yakni merekalah orang-orang yang beruntung merupakan indikasi (qarinah) bahwa perintah tersebut hukumnya wajib.



Kewajiban membangun kelompok tersebut bukanlah untuk memecah-belah umat Islam ke dalam kelompok-kelompok. Tetapi kewajiban itu dimaknai bahwa melaksanakan tugas mengajak kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, itu menurut sebagian ulama bukanlah kewajiban semua umat tapi kewajiban sekelompok umat yang memiliki kualifikasi mampu melaksanakan tugas tersebut.

Oleh karena itu, menurut Tafsir Jalalain melaksanakan dakwah mengajak kepada Islam dan melakukan amar makruf nahi munkar hukumnya adalah fardlu kifayah, yakni tidak wajib bagi seluruh umat dan tidak mengikat semua orang seperti orang bodoh misalnya.

Az Zamakhsyari dalam Tafsir al Kassyaf menerangkan bahwa lafazh “min” dalam ayat “wal takun minkum” di atas maknanya untuk sebagian (lit tab’idl). Sebab amar makruf nahi mungkar merupakan fardlu kifayah. Dan tidak layak melakukan amar makruf nahi munkar kecuali orang yang tahu “al makruf” dan “al munkar” serta mengetahui bagaimana mengatur urusan tersebut dalam menjalankan dan melaksanakannya.

Orang yang tidak tahu menahu tentang hal itu bisa jadi melarang yang makruf dan menyuruh yang munkar. Bisa jadi dia tahu hukum-hukum di madzhabnya dan tidak tahu hukum-hukum di madzhab kawannya sehingga bisa jadi dia melarang sesuatu yang sebenarnya bukan kemungkaran. Bisa pula dia bersikap keras pada perkara yang seharusnya disikapi secara lembut atau bersikap lembut pada perkara yang seharusnya disikapi dengan keras.

Disinilah perlunya kelompok orang yang sudah memiliki pengetahuan tentang amar makruf nahi meungkar dan tata cara melaksanakannya.

Imam at Thabari menjelaskan bahwa yang dimaksud “al khair” dalam ayat di atas adalah al Islam dan syariat-syariatnya. Dengan demikian kelompok orang yang melksanakan tugas tersebut harus memiliki ilmu pengetahuan tentang ajaran Islam dan hukum-hukum syariatnya, baik hukum-hukum yang berkenaan dengan urusan aqidah, seperti hukum tentang larangan murtad; hukum-hukum berkaitan dengan ibadah seperti sholat, shaum, haji, dan jihad; hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak; hukum-hukum yang berkaitan dengan halal haramnya makanan dan minuman serta hukum-hukum tentang pakaian; hukum-hukum seputar ekonomi makro maupun mikro, seperti hukum syariat tentang kepemilikan umum umat yang tidak boleh diprivatisasi oleh negara; hukum-hukum pidana Islam seperti hudud, jinayat, ta’zir, dan mukhalafat; hukum-hukum tentang politik dalam negeri seperti hukum-hukum tentang partai dan pemerintahan; hukum-hukum poltik luar negeri seperti kewajiban dakwah dan jihad, dan lain-lain.

Urgensi Kelompok Dakwah dan Pelaksana Amar Makruf Nahi Munkar

Huruf “al” dalam lafazh “al khair”, “al makruf” dan “al munkar” pada ayat di atas menunjukkan bahwa tugas segolongan atau sekelompok umat di atas meliputi mendakwahkan seluruh kebajikan Islam dan syariatnya, menyuruh segala kemakrufan, dan mencegah seluruh kemungkaran. Baik yang dilakukan oleh individu, kelompok masyarakat, maupun negara. Oleh karenanya, keberadaan kelompok umat Islam yang melakukan tugas tersebut dan memiliki kapasitas kemampuan yang mencukupi untuk melaksanakan tugas tersebut menjadi sangat urgen.

Sebab dengan hilangnya gambaran kehidupan Islam yang sebenarnya di masyarakat yang umumnya telah membatasi Islam sekedar pada aqidah, ibadah, dan akhlak dan dominasi kehidupan sekuler serta serbuan informasi dari media massa cetak dan elektronik yang menawarkan dan mengajarkan hedonisme dan cara-cara hidup sekuler, kita butuh sekelompok orang yang memapu menyajikan gambaran kehidupan Islam secara jelas sehingga umat bisa memahami dan tergerak untuk mewujudkannya.

Demikian pula dengan terhentinya amar makruf nahi mungkar di tengah berjalannya kehidupan sekuler yang penuh dengan aktivis dan propaganda agar meninggalkan dan menanggalkan agama (Islam khususnya), mengharuskan adanya aktivitas amar makruf nahi mungkar. Menyuruh pemerintah untuk melindungi umat dari bahaya pornografi dan pornoaksi dengan UU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang merujuk kepada syariat Allah SWT adalah bentuk “al amru bil makruf”.

Sedangkan menentang UU Migas dan UU Sumber Daya Air yang telah memberikan kesempatan pihak asing menguasai sumber daya alam kita adalah bentuk “an nahyu anil munkar”. Mengingat besarnya permasalahan yang harus ditangani dalam amar makruf nahi munkar, maka keberadaan segolongan orang yang bersama-sama bekerja secara sistematis untuk itu adalah suatu kebutuhan.

Selain itu Allah SWT berfirman:

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At Taubah 71). Juga firman-Nya:

Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS. Al Anfal 25).

Kesimpulan

Membangun jamaah untuk mengajak manusia kepada Islam dan syariatnya serta menyuruh kepada yang makruf dan melarang dari yang munkar adalah fardlu kifayah. Tidak harus dilakukan oleh semua umat islam. Tapi oleh mereka yang memiliki pengetahuan tentang “al Islam” , “al makruf” dan “al munkar” dan mengetahui tatacara pelaksanaan dakwah Islam dan amar makruf nahi munkar. Dengan demikian keberadaan jamaah atau kelompok yang melaksanakan dakwah mengajak kepada Islam dan amar makruf nahi mungkar adalah wajib dan urgen di masa dimana umat islam ini didominasi oleh kehidupan sekuler. Wallahua’lam! (mj/www.suara-islam.com)

Wednesday, June 24, 2009

Letak Kebahagiaan adalah Di Hati

Setiap orang pasti menginginkan hidup bahagia. Namun banyak orang yang
menempuh jalan yang salah dan keliru. Sebagian menyangka bahwa kebahagiaan
adalah dengan memiliki mobil mewah, Handphone sekelas Blackberry, memiliki
rumah real estate, dapat melakukan tur wisata ke luar negeri, dan lain
sebagainya. Mereka menyangka bahwa inilah yang dinamakan hidup bahagia.
Namun apakah betul seperti itu? Simak tulisan berikut ini.
Kebahagiaan untuk Orang yang Beriman dan Beramal Sholeh
Saudaraku … Orang yang beriman dan beramal sholeh, merekalah yang
sebenarnya merasakan manisnya kehidupan dan kebahagiaan karena hatinya
yang selalu tenang, berbeda dengan orang-orang yang lalai dari Allah yang
selalu merasa gelisah. Walaupun mungkin engkau melihat kehidupan mereka
begitu sederhana, bahkan sangat kekurangan harta. Namun jika engkau
melihat jauh, engkau akan mengetahui bahwa merekalah orang-orang yang
paling berbahagia. Perhatikan seksama firman-firman Allah Ta’ala berikut.
Allah Ta’ala berfirman,
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik.” (QS. An Nahl: 97).
Ini adalah balasan bagi orang mukmin di dunia, yaitu akan mendapatkan
kehidupan yang baik.
“Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl: 97).
Sedangkan dalam ayat ini adalah balasan di akhirat, yakni alam barzakh.
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya,
pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan
sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka
mengetahui.” (QS. An Nahl: 41)
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya.
(Jika kamu, mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi
kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang
telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang
mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (QS. Huud: 3).
Kedua ayat ini menjelaskan balasan di akhirat bagi orang yang beriman dan
beramal sholeh.
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba- Ku yang beriman, bertakwalah kepada
Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan.
Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang
bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10)
Inilah empat tempat dalam Al Qur’an yang menjelaskan balasan bagi orang
yang beriman dan beramal sholeh. Ada dua balasan yang mereka peroleh yaitu
balasan di dunia dan balasan di akhirat. Itulah dua kebahagiaan yang
nantinya mereka peroleh. Ini menunjukkan bahwa mereka-lah orang yang akan
berbahagia di dunia dan akhirat.
Salah Satu Bukti
Seringkali kita mendengar nama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Namanya
begitu harum di tengah-tengah kaum muslimin karena pengaruh beliau dan
karyanya begitu banyak di tengah-tengah umat ini. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah, nama aslinya adalah Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin
Abdullah bin Muhammad bin Al Khodr bin Muhammad bin Al Khodr bin Ali bin
Abdullah bin Taimiyyah Al Haroni Ad Dimasqi. Nama Kunyah beliau adalah
Abul ‘Abbas.
Berikut adalah cerita dari murid beliau Ibnul Qayyim mengenai keadaannya
yang penuh kesusahan, begitu juga keadaan yang penuh kesengsaraan di dalam
penjara. Namun di balik itu, beliau termasuk orang yang paling berbahagia.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Allah Ta’ala pasti tahu bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang
lebih bahagia hidupnya daripada beliau, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan
kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan
siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allah Ta’ala, yaitu
berupa siksaan dalam penjara, ancaman dan penindasan dari musuh-musuh
beliau. Namun bersamaan dengan itu semua, aku dapati bahwa beliau adalah
termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling
tegar hatinya dan paling tenang jiwanya. Terpancar pada wajah beliau sinar
kenikmatan hidup yang beliau rasakan. Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah),
jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami
prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan kesempitan hidup,
kami segera mendatangi beliau untuk meminta nasehat, maka dengan hanya
memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau, serta merta hilang
semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang,
tegar, yakin dan tenang”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun sering mengatakan berulang kali pada
Ibnul Qoyyim, “Apa yang dilakukan oleh musuh-musuhku terhadapku?
Sesungguhnya keindahan surga dan tamannya ada di hatiku.”
Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah mengatakan tatkala beliau
berada di dalam penjara, padahal di dalamnya penuh dengan kesulitan, namun
beliau masih mengatakan, “Seandainya benteng ini dipenuhi dengan emas,
tidak ada yang bisa menandingi kenikmatanku di sini.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga pernah mengatakan, “Sebenarnya orang
yang dikatakan dipenjara adalah orang yang hatinya tertutup dari mengenal
Allah ‘azza wa jalla. Sedangkan orang yang ditawan adalah orang yang masih
terus menuruti (menawan) hawa nafsunya (pada kesesatan).”
Bahkan dalam penjara pun, Syaikhul Islam masih sering memperbanyak do’a
agar dapat banyak bersyukur pada Allah, yaitu do’a: Allahumma a’inni ‘ala
dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik (Ya Allah, aku meminta pertolongan
agar dapat berdzikir, bersyukur dan beribadah dengan baik pada-Mu). Masih
sempat di saat sujud, beliau mengucapkan do’a ini. Padahal beliau sedang
dalam belenggu, namun itulah kebahagiaan yang beliau rasakan.
Tatkala beliau masuk dalam sel penjara, hingga berada di balik dinding,
beliau mengatakan,
“Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah
dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.” (QS. Al
Hadid: 13)
Itulah kenikmatan yang dirasakan oleh orang yang memiliki keimanan yang
kokoh. Kenikmatan seperti ini tidaklah pernah dirasakan oleh para raja dan
juga pangeran.
Para salaf mengatakan,
“Seandainya para raja dan pangeran itu mengetahui kenikmatan yang ada di
hati kami ini, tentu mereka akan menyiksa kami dengan pedang.”
Mendapatkan Surga Dunia
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Di dunia itu terdapat surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya, maka dia
tidak akan memperoleh surga akhirat.”
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa surga dunia adalah mencintai Allah,
mengenal Allah, senantiasa mengingat-Nya, merasa tenang dan thuma’ninah
ketika bermunajat pada-Nya, menjadikan kecintaan hakiki hanya untuk-Nya,
memiliki rasa takut dan dibarengi rasa harap kepada-Nya, senantiasa
bertawakkal pada-Nya dan menyerahkan segala urusan hanya pada-Nya.
Inilah surga dunia yang dirindukan oleh para pecinta surga akhirat.
Itulah saudaraku surga yang seharusnya engkau raih, dengan meraih
kecintaan Allah, senantiasa berharap pada-Nya, serta dibarengi dengan rasa
takut, juga selalu menyandarkan segala urusan hanya kepada-Nya.
Penutup
Inti dari ini semua adalah letak kebahagiaan bukanlah dengan memiliki
istana yang megah, mobil yang mewah, harta yang melimpah. Namun letak
kebahagiaan adalah di dalam hati.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau
banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang
selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita dan memberikan kita surga dunia
yaitu dengan memiliki hati yang selalu bersandar pada-Nya.
Alhamdulillahilladz i bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala
nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
***
Sumber rujukan: Shahih Al Wabilush Shoyyib, 91-96, Dar Ibnul Jauziy
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya: Muhammad Abduh
Tuasikal

copas dr milis [daarut-tauhiid]