Friday, May 29, 2009

Tegaknya Khilafah, Wajib Dan Perlu



Oleh: Muhammad al-Khaththath

hayatulislam.net - Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin di seluruh dunia untuk menegakkan hukum syari’at Islam dan mengemban dakwah ke segenap penjuru dunia.
Khilafah adalah satu-satunya sistem pemerintahan dan kenegaraan yang diwariskan oleh Rasulullah Saw setelah beliau memerintah di Madinah selama kurang lebih sepuluh tahun. Sistem inilah yang dilanjutkan oleh para Kulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakar ra., Umar ra., Utsman ra., dan Ali bin Abi Thalib ra.) dengan ibukota Madinah lalu pindah ke Kufah, para khalifah Umawiyyah dengan ibukota di Damaskus, para khalifah Abbasiyyah dengan ibukota di Baghdad, dan para khalifah Utsmaniyyah dengan ibukota di Istambul, Turki. Sistem Khilafah dihapuskan oleh imperialisme Inggris (setelah mengalahkannya dalam perang dunia pertama) melalui anteknya, jendral Musthafa Kemal pada bulan Maret 1924 dan memindahkan ibukota dari Istambul ke Ankara.


Dalam kurun waktu 80 tahun kaum muslimin hidup tanpa naungan Khilafah sebagai satu kepemimpinan untuk seluruh kaum muslimin di seluruh dunia, kaum muslimin terpecah belah dalam berbagai negara dan bangsa, kaum muslimin mengalami berbagai penderitaan dan bencana, dan berbagai problema yang menimpa kaum muslimin tak kunjung terpecahkan. Dalam situasi dan kondisi yang menyedihkan itu, negara-negara Barat melancarkan berbagai konspirasi dan propaganda yang melemahkan kekuatan kaum muslimin, menyudutkan Islam sebagai suatu sistem hidup dan menyerang bahkan menjauhkan kaum muslimin dari sistem Khilafah sebagai suatu institusi yang dapat menerapkan sietem kehidupan Islam.

Namun toh kesadaran kaum muslimin terhadap kekuatannya, kebenaran agamanya, dan sistem Khilafah sebagai harapannya ternyata tumbuh dan tak dapat dihalang-halangi. Setiap ada seruan terhadap kembalinya kedaulatan hukum syari’at Islam dan institusi pemerintahan Islam selalu disambut kaum muslimin dengan penuh semangat dan harapan. Menangnya FIS (Front Islamique du Salut) di Aljazair tahun 1991 dan Partai Refah di Turki tahun 1995 merupakan contoh kongkrit. Dan solidaritas kaum muslimin untuk kesatuan dunia Islam tampak jelas dalam kasus Palestina, Bosnia, dan Irak. Bahkan ketika Iran melakukan Revolusi, umat pun bangkit kesadarannya.

Sementara itu, pihak Barat pun semakin khawatir terhadap munculnya kekuatan Islam. Samuel Huntington mengguratkan kekhawatiran Barat itu dalam bukunya The Clash of Civilizations. Bahkan Barat yang aqidahnya goyang itu pun khawatir dengan ramalan salah seorang dari paranormal mereka bahwa institusi Khilafah akan muncul di Hijaz pada tahun 2011. Oleh karena itu mereka terus-menerus melakukan konspirasi agar institusi yang dengan susah payah mereka runtuhkan itu tidak tegak kembali. Namun Allah SWT berfirman:

“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Qs. Ali-‘Imran [3]: 54).


Wajib Menegakkan Khilafah

Menegakkan khilafah dengan mengangkat seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum muslimin hukumnya wajib. Tidak ada khilafiyah dalam hal ini. Dalil-dalilnya pun jelas. Firman Allah SWT:

“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 48).

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 49).

Perintah mengambil keputusan hukum atas perkara di antara warga negara dalam ayat di atas ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Seruan kepada nabi Muhammad Saw berarti pula seruan kepada umatnya manakala tidak ada dalil yang mengkhususkan bahwa seruan itu khas untuk beliau Saw. Terhadap kedua ayat di atas tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa seruan itu khusus untuk Rasulullah Saw. Berarti seruan itu juga untuk kaum muslimin di mana saja di sepanjang masa untuk mewujudkan pemerintahan yang bisa melaksanakan pengambilan keputusan hukum atas perkara yang terjadi di antara manusia dengan hukum-hukum Allah SWT. Operasionalisasi dari ayat tersebut adalah menegakkan sistem pemerintahan Khilafah yang diwariskan oleh Nabi Muhammad Saw.

Juga Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Allah SWT, Rasul-Nya, dan Ulil Amri di kalangan kaum muslimin. Dia berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 59).

Perintah mentaati ulil amri dalam ayat tersebut berarti pula perintah untuk mewujudkannya. Tanpa adanya ulil amri, perintah taat tersebut tidak menemukan implementasinya. Apalagi ulil amri itu tugasnya menegakkan syari’at Allah SWT yang bila tak ada berarti syari’at Allah SWT menjadi sia-sia. Oleh karena itu, operasionalisasi dari ayat tersebut adalah mewujudkan ulil amri yang memegang kendali pemerintahan yang menegakkan hukum syari’at Allah SWT. Itulah sistem khilafah dengan khalifah sebagai ulil amri-nya.

Hadits Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Nafi’ menyebut bahwa Umar r.a berkata kepadanya bahwa Nabi Saw. Bersabda:

“Siapa saja yang melepas tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya ia akan berjumpa dengan Allah di hari kiyamat tanpa memiliki hujjah. Dan siapa saja yang mati sedangkan di pundaknya tidak ada bai’at, maka matinya seperti mati jahiliyyah.”

Hadits tersebut mewajibkan adanya bai’at dalam pundak seorang muslim. Sedangkan bai’at untuk pemerintahan tidak lain dan tidak bukan adalah diberikan kepada seorang Khalifah. Oleh karena itu, hadits tersebut menitikberatkan pada terwujudnya institusi khilafah atau adanya seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum muslimin. Dengan demikian dibai’atnya seorang khalifah oleh kaum muslimin dan keberadannya secara kontinyu merupakan operasionalisasi dari hadits tersebut agar kaum muslimin tidak mati seperti matinya orang jahiliyyah.

Imam Muslim meriwayatkan suatu hadits dari Abi Hazim bahwa dia telah bergaul (dalam majelis) Abu Hurairah selama lima tahun dan dia mendengar bahwa sahabat Nabi itu meriwayatkan hadits dari Nabi saw. bahwa beliau saw. bersabda:

“Dulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tak ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah! Para sahabat bertanya: Apakah yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau Saw menjawab: penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya, karena Allah akan menuntut pertanggungjawaban mereka tentang rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka.”

Hadits ini dengan jelas menyatakan bahwa sistem pemerintahan yang diwariskan oleh Rasulullah Saw adalah sistem Khilafah, bukan yang lain.

Dan para sahabat berijma’ tentang wajib dan urgensinya pengangkatan khalifah. Ini terbukti pada saat Rasulullah wafat, mereka mendahulukan upaya memilih khalifah sebagai pengganti Rasulullah Saw sebagai kepala negara kaum muslimin ketimbang menguburkan jenazah Rasulullah Saw. Padahal mereka tahu bahwa menguburkan jenazah dengan cepat –apalagi jenazah Rasulullah Saw– adalah wajib hukumnya. Berarti, mengangkat khalifah mengisi kekosongan jabatan pengendali pemerintahan lebih wajib hukumnya.


Urgensi Menegakkan Khilafah

Sejak runtuhnya kekuasaan Islam itu, kaum muslimin di berbagai negeri didera berbagai krisis yang tak habis-habis. Ada krisis persatuan dan persaudaraan, ada krisis politik, krisis ekonomi, sosial budaya, krisis pendidikan dan SDM, dan lain sebagainya.

Wilayah kekuasaan Islam yang semula terbentang luas dari mulai Spanyol di Eropa, pedalaman Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tengah, Semenanjung Balkan hingga ke Timur Jauh, terpecah belah menjadi puluhan negara kecil yang dikuasai oleh para penjajah kafir. Kendati sekitar tahun 30-an hingga tahun 50-an, negeri-negeri itu satu persatu merdeka, terbebas dari penjajahan, tapi pengaruh penjajah tetap bercokol di sana melalui para penguasa boneka. Dan keterpecahan itu hendak diabadikan dengan faham nasionalisme yang dianut berbagai bangsa di dunia Islam. Bahkan seperti bangsa Arab pun terbelah menjadi faham kebangsaan yang lebih sempit lagi, seperti Irak, Yordan, Siria, Mesir, Maroko, Saudi, Kuwait, Yaman dan lain-lain. Selain itu, penindasan oleh penguasa, pembunuhan, kerusakan moral, dan kerusakan lingkungan adalah cerita yang tak pernah sepi dalam kehidupan kaum muslimin di berbagai negeri. Dapat dibayangkan bahwa kaum muslimin sepanjang abad dua puluh bagaikan hidup dalam penjara besar, yakni negerinya sendiri.

Juga, melalui berbagai bentuk penjajahan (imperialisme) baru di bidang ekonomi, politik, pendidikan dan budaya, kaum muslimin didominasi dan dimarjinalkan hingga terjadi berbagai krisis dalam bidang ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Untuk wilayah yang kebetulan miskin, kemiskinan menjadi pemandangan sehari-hari. Bahkan dengan program bantuan utang luar negeri, rakyat kaum muslimin di daerah kayapun dimiskinkan secara struktural. Wilayah-wilayah itu juga tak henti-hentinya menjadi obyek jarahan, eksploitasi dan penindasan negara-negara besar. Emas di Indonesia, misalnya diangkut ke AS dan Kanada melalui perusahaan asing Freeport, minyak di negeri-negeri Teluk disedot melalui politik perdagangan yang curang.

Bukan hanya itu, di bidang kemanusiaan, terjadi pula pembantaian atas kaum muslimin di berbagai wilayah. Misalnya Palestina, Bosnia, Kosovo, Chechnya, Kashmir, Ambon dan lain-lain.

Semua krisis itu menunjukkan betapa rapuhnya kaum muslimin menghadapi menghadapi makar negara-negara Barat. Umat Islam yang jumlahnya lebih dari 1,2 milyar tak ubahnya seperti buih di lautan yang tak memiliki kekuatan apa-apa.

Apakah kita akan membiarkan semua krisis itu terus berlanjut. Bila tidak, maka tidak ada cara lain bagi kaum muslimin harus menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah guna menerapkan syariat Islam dan melaksanakan dakwah ke seluruh penjuru dunia, sebagaimana pernah terjadi di masa lalu.


Hambatan-Hambatan Dalam Menegakkan Khilafah

Hanya saja upaya mengembalikan sistem pemerintahan versi Rasulullah Saw tak sepi dari berbagai kendala, diantaranya:

Adanya pemikian-pemikiran tidak Islami yang menyerang dunia Islam, sehingga umat Islam cenderung membebek dengan pemikir-pemikir politik Barat, dan tidak siap menerima pemikiran-pemikiran politik versi Rasulullah Saw.

Adanya program pendidikan tidak Islami arahan penjajah, yang menghasilkan birokrat dan teknokrat yang gandrung dengan sistem kehidupan barat yang sekuler.

Terbentuknya pola pikir dan pola sikap sekuler yang tidak Islami pada generasi muda Islam, akibat kurikulum pendidikan versi Barat. Ini bukan karena mereka mempelajari sains dan teknologi yang memang universal, tetapi justru mereka dijejali dengan tsaqafah dan peradaban Barat yang sekularistik itu.

Adanya anggapan yang berlebihan dan membesar-besarkan terhadap ilmu-ilmu sosial, psikologi, pendidikan, dan lain-lain. Hal ini menyebabkan umat Islam lebih mempercayai pakar-pakar Barat daripada al-Qur’an dan as-Sunnah, dalam memecahkan problem kehidupan.

Kehidupan masyarakat di dunia Islam tidak Islami, dengan adanya lembaga negara dan lembaga masyarakat, yang dibentuk tidak berdasarkan Islam.

Adanya gap yang lebar antara umat Islam dengan hukum-hukum Islam, terutama politik pemerintahan dan keuangan, akibat penerapan sisten kufur.

Adanya pemerintahan di dunia Islam yang ditegakkan atas asas demokrasi dan menurut sistem kapitalis; serta adanya ketergantungan politik dengan negara Barat.

Adanya opini umum tentang patriotisme, nasionalisme, dan sosialisme, serta gerakan-gerakan dan partai yang berdiri dan berjuang atas dasar ide-ide tersebut.


Khatimah

Jelas bahwa tegaknya khilafah itu wajib dan perlu. Kaum muslimin, khususnya generasi muda anak umat ini, hendaknya menyiapkan diri untuk misi mulia itu. Dengan memahami ide-ide yang rinci tentang sistem Khilafah dan pemahaman tentang berbagai hambatan di atas, insyaallah kaum muslimin dapat bergerak segera untuk mewujudkannya.

Yakinlah bahwa Allah SWT menolong para pejuang penegak diin-Nya yang haq dan akan memberikan kemenangan dan kekuasaan kepada mereka. Dia berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Qs. Muhammad [47]: 7).

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik” (Qs. an-Nûr [24]: 55).

Ya Allah Kami telah menyampaikannya!
http://www.hayatulislam.net/hayatulislam-net61.php

Thursday, May 28, 2009

Wasiat Aqidah Imam Syafi’i






MediaMuslim.Info – Imam Syafi’i, begitulah orang-orang menyebut dan mengenal nama ini, begitu lekat di dalam hati, setelah nama-nama seperti Khulafaur Rasyidin. Namun sangat disayangkan, orang-orang mengenal Imam Syafi’i hanya dalam kapasitasnya sebagai ahli fiqih. Padahal beliau adalah tokoh dari kalangan umat Islam dengan multi keahlian. Karena itu ketika memasuki Baghdad, beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembela hadits). Dan Imam Adz-Dzahabi menjuluki beliau dengan sebutan Nashirus Sunnah (pembela sunnah) dan salah seorang Mujaddid (pembaharu) pada abad kedua hijriyah.

Muhammad bin Ali bin Shabbah Al-Baldani berkata: “Inilah wasiat Imam Syafi’i yang diberikan kepada para sahabatnya, ‘Hendaklah Anda bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Alloh Yang Maha Satu, yang tiada sekutu bagiNya. Dan sesungguhnya Muhammad bin Abdillah adalah hamba dan RasulNya. Kami tidak membedakan para rasul antara satu dengan yang lain. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata, Tuhan semesta alam yang tiada bersekutu dengan sesuatu pun. Untuk itulah aku diperintah, dan saya termasuk golongan orang yang menyerahkan diri kepadaNya. Sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala membangkitkan orang dari kubur dan sesungguhnya Surga itu haq, Neraka itu haq, adzab Neraka itu haq, hisab itu haq dan timbangan amal serta jembatan itu haq dan benar adanya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala membalas hambaNya sesuai dengan amal perbuatannya. Di atas keyakinan ini aku hidup dan mati, dan dibangkitkan lagi InsyaAlloh. Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kalam Alloh Subhanahu wa Ta’ala, bukan makhluk ciptaanNya. Sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala di hari akhir nanti akan dilihat oleh orang-orang mukmin dengan mata telanjang, jelas, terang tanpa ada suatu penghalang, dan mereka mendengar firmanNya, sedangkan Dia berada di atas ‘Arsy. Sesungguhnya takdir, baik buruknya adalah berasal dari Alloh Yang Maha Perkasa dan Agung. Tidak terjadi sesuatu kecuali apa yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala kehendaki dan Dia tetapkan dalam qadha’ qadarNya.

Sesungguhnya sebaik-baik manusia setelah Baginda Rasullulloh shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiallahu’anhum. Aku mencintai dan setia kepada mereka, dan memohonkan ampun bagi mereka, bagi pengikut perang Jamal dan Shiffin, baik yang membunuh maupun yang terbunuh, dan bagi segenap Nabi. Kami setia kepada pemimpin negara Islam (yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah) selama mereka mendirikan sholat. Tidak boleh membangkang serta memberontak mereka dengan senjata. Kekhilafahan (kepemimpinan) berada di tangan orang Quraisy. Dan sesungguhnya setiap yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun diharamkan. Dan nikah mut’ah adalah haram.

Aku berwasiat kepadamu dengan taqwa kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, konsisten dengan sunnah dan atsar dari Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Tinggalkanlah bid’ah dan hawa nafsu. Bertaqwalah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala sejauh yang engkau mampu. Ikutilah shalat Jum’at, jama’ah dan sunnah (Rasullulloh Shallallahu’alaihi wasallam). Berimanlah dan pelajarilah agama ini. Siapa yang mendatangiku di waktu ajalku tiba, maka bimbinglah aku membaca “Laailahaillallah wahdahu lasyarikalahu waanna Muhammadan ‘abduhu warasuluh”.

Di antara yang diriwayatkan Abu Tsaur dan Abu Syu’aib tentang wasiat Imam Syafi’i adalah: “Aku tidak mengkafirkan seseorang dari ahli tauhid dengan sebuah dosa, sekalipun mengerjakan dosa besar, aku serahkan mereka kepada Alloh Azza Wajalla dan kepada takdir serta iradah-Nya, baik atau buruknya, dan keduanya adalah makhluk, diciptakan atas para hamba dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Siapa yang dikehendaki menjadi kafir, kafirlah dia, dan siapa yang dikehendakiNya menjadi mukmin, mukminlah dia. Tetapi Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidak ridha dengan keburukan dan kejahatan dan tidak memerintahkan atau menyukainya. Dia memerintahkan ketaatan, mencintai dan meridhainya. Orang yang baik dari umat Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam masuk Surga bukan karena kebaikannya (tetapi karena rahmatNya). Dan orang jahat masuk Neraka bukan karena kejahatannya semata. Dia menciptakan makhluk berdasarkan keinginan dan kehendakNya, maka segala sesuatu dimudahkan bagi orang yang diperuntukkannya, sebagaimana yang terdapat dalam hadits. (Riwayat Al-Bukhari, Muslim dan lainnya).

Aku mengakui hak pendahulu Islam yang sholeh yang dipilih oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala untuk menyertai NabiNya, mengambil keutamaannya. Aku menutup mulut dari apa yang terjadi di antara mereka, pertentangan ataupun peperangan baik besar maupun kecil. Aku mendahulukan Abu Bakar, kemudian Umar kemudian Utsman kemudian Ali radhiallahu ‘anhum. Mereka adalah Khulafaur Rasyidin. Aku ikat hati dan lisanku, bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan, bukan makhluk yang diciptakan. Sedangkan mempermasalahkan lafazh (ucapan seseorang yang melafazhkan Al-Qur’an apakah makhluk atau bukan) adalah bid’ah, begitu pula sikap tawaqquf (diam, tidak mau mengatakan Al-Qur’an itu bukan makhluk, juga tidak mau mengatakan Al-Qur’an itu makhluk”) adalah bid’ah. Iman adalah ucapan dan amalan yang mengalami pasang surut. (Lihat Al-Amru bil Ittiba’, As-Suyuthi, hal. 152-154, tahqiq Mustofa Asyur; Ijtima’ul Juyusyil Islamiyah, Ibnul Qayyim, 165).

Kesimpulan wasiat di atas yaitu:

*

Aqidah Imam Syafi’i adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
*

Sumber aqidah Imam Syafi’i adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau pernah mengucapkan: sebuah ucapan seperti apapun tidak akan pasti (tidak diterima) kecuali dengan (dasar) Kitabulloh atau Sunnah RasulNya. Dan setiap yang berbicara tidak berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka ia adalah mengigau (membual, tidak ada artinya). Waallu a’lam. ( Manaqibusy Syafi’i, 1/470&475)
*

Manhaj Imam Syafi’i dalam aqidah menetapkan apa yang ditetapkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya, dan menolak apa yang ditolak oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya. Karena itu beliau menetapkan sifat istiwa’ (Alloh Subhanahu wa Ta’ala bersemayam di atas), ru’yatul mukminin lirrabbihim (orang mukmin melihat Tuhannya) dan lain sebagainya.
o

Dalam hal sifat-sifat Alloh Subhanahu wa Ta’ala, Imam Syafi’i mengimani makna zhahirnya lafazh tanpa takwil (meniadakan makna tersebut) apalagi ta’thil (membelokkan maknanya). Beliau berkata: “Hadits itu berdasarkan zhahirnya. Dan jika ia mengandung makna lebih dari satu, maka makna yang lebih mirip dengan zhahirnya itu yang lebih utama.” (Al-Mizanul Kubra, 1/60; Ijtima’ul Juyusy, 95).

Imam Syafi’i pernah ditanya tentang sifat-sifat Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang harus diimani, maka beliau menjawab, bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang telah dikabarkan oleh kitabNya dan dijelaskan oleh NabiNya kepada umatnya. Tidak seorang pun boleh menolaknya setelah hujjah (keterangan) sampai kepadanya karena Al-Qur’an turun dengan membawa nama-nama dan sifat-sifat itu.

Maka barangsiapa yang menolaknya setelah tegaknya hujjah, ia adalah kafir. Adapun sebelum tegaknya hujjah, ia adalah ma’dzur (diampuni) karena kebodohannya, sebab hal (nama-nama dan sifat-sifat Alloh Subhanahu wa Ta’ala) itu tidak bisa diketahui dengan akal dan pemikiran. Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa Dia memiliki sifat “Yadaini” (dua tangan), dengan firmanNya, yang artinya: “Tetapi kedua tangan Alloh terbuka” (QS: Al-Maidah: 64). Dia memiliki wajah, dengan firmanNya, yang artinya: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajahNya” (QS: Al-Qashash: 88).” (Manaqib Asy-Syafi’i, Baihaqi, 1/412-413; Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah, Al-Lalikai, 2/702; Siyar A’lam An-Nubala’, 10/79-80; Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyah, Ibnul Qayyim, 94).
*

Kata-kata “As-Sunnah” dalam ucapan dan wasiat Imam Syafi’i dimaksudkan untuk tiga arti. Pertama, adalah apa saja yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasululloh, berarti lawan dari bid’ah. Kedua, adalah aqidah shahihah yang disebut juga tauhid (lawan dari kalam atau ra’yu). Berarti ilmu tauhid adalah bukan ilmu kalam begitu pula sebaliknya. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang mendalami ilmu kalam, maka seakan-akan ia telah menyelam ke dalam samudera ketika ombaknya sedang menggunung”. (Al-Mizanul Kubra, Asy-Sya’rani, 1/60). Ketiga, As-Sunnah dimaksudkan sebagai sinonim dari hadits yaitu apa yang datang dari Rasululloh selain Al-Qur’an.

Ahlus Sunnah disebut juga oleh Imam Syafi’i dengan sebutan Ahlul Hadits. Karena itu beliau juga berwasiat: “Ikutilah Ahlul Hadits, karena mereka adalah manusia yang paling banyak benarnya.” (Al-Adab Asy-Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/231). “Ahli Hadits di setiap zaman adalah bagaikan sahabat Nabi.” (Al-Mizanul Kubra, 1/60)

Di antara Ahlul Hadits yang diperintahkan oleh Imam Syafi’i untuk diikuti adalah Imam Ahmad bin Hanbal, murid Imam Syafi’i sendiri yang menurut Imam Nawawi: “Imam Ahmad adalah imamnya Ashhabul Hadits, imam Ahli Hadits.”

(Sumber Rujukan: Al-Majmu’, Syarhul Muhazzab; Siar A’lam, 10/5-6; Tadzkiratul Huffazh, 1/361; dan sebagaimana dilihat pada setiap penggalan diatas).

RINGKASAN AQIDAH DAN MANHAJ IMAM ASY-SYAFI'i Rahimahullah.


1. Namanya

Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muttalib (ayah Abdul Muttalib kakek Rasulullah r) bin Abdi Manaf. Beliau bertemu nasabnya dengan Rasulullah r pada Abdi Manaf.

Beliau bergelar Nashirul hadits (pembela hadits), karena kegigihannya dalam membela hadits dan komitmennya untuk mengikuti sunnah Nabi r. [1]

2. Kelahiran

Imam Al-Baihaqi menyebutkan,”Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghazzah, kemudian dibawa ke Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah. [2]

Ibnu Hajar menambahkan,” Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di kota Asqalan. Ketika berusia dua tahun ibunya membawanya ke Hijaz dan hidup bersama orang-orang keturunan Yaman karena ibunya dari suku Azdiyah. Diusia 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah karena khawatir nasabnya yang mulia akan lenyap”. [3]

3. Perjalanannya menuntut ilmu

Dalam usia 7 tahun Imam Asy-Syafi’i selesai menghafal Al-Qur’an dan usia 10 tahun beliau hafal Al-Muwaththa’ karya Imam Malik, usia 15 tahun dengan izin gurunya yang bernama Muslim bin Khalid Az-Zanji untuk berfatwa. Beliau juga banyak menghafal syair-syair Hudzail. Setelah itu beliau pergi ke Madinah untuk belajar fiqih dari Imam Malik bin Anas hingga Imam Malik wafat tahun 179H, setelah itu beliau belajar dai Sufyan bin ‘Uyainah.

Dari hasil menggadaikan rumahnya seharga 16 dinar, Imam Syafi’i pergi ke Yaman. Karena ketidakmampuannya beliau bekerja di Yaman sambil belajar dari para ulama-ulama di sana di antaranya Ibnu Abi Yahya dan lainnya.

Ketika itu, di saat pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid terjadi fitnah ‘Alawiyyin yang mengakibatkan seluruh ‘Alawiyyin terusir dari Yaman termasuk Imam Syafi’i. Beliau bersama rombongan ‘Alawiyyin dibawa ke Irak dengan diikat dan sambil disiksa. Keluar dari penjara Irak beliau belajar dari para ulama-ulama di sana seperti Imam Muhammad bin Al-Hasan.

Ketika pemerintahan Al-Makmun yang dikuasai oleh para ulama ahli kalam dan merebak banyak bid’ah, beliau pergi ke Mesir dan beliau membuka halaqah di masjid Amr bin Al-‘Ash.



4. Guru dan muridnya

Imam Syafi’i mengambil ilmu dari para ulama di berbagai tempat misalnya di Makkah, Madinah, Kufah, Bashrah, Yaman, Syam dan Mesir. Imam AL-Baihaqi menyebutkan beberapa orang guru Imam Asy-Syafi’i di antaranya sebagai berikut:


v Di Makkkah

· Imam Sufyan bi Uyainah.

· Abdurrahman bin Abu Bakar bin Abdullah bin Abu Mulaikah.

· Ismail bin Abdullah Al-Muqri.

· Muslim bin Khalid Az-Zanji.


v Di Madinah

· Imam Malik bin Anas.

· Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawirdi.

· Ibrahim bin Sa’ad bin Abdurrahman.

· Muhammad bin Ismail Abu Fudaik.


v Di tempat-tempat yang lain

· Hisyam bin Yusuf Al-Shan’ani.

· Mutharrif bin Mazin Al-Shan’ani.

· Waki’ bin Jarrah

· Muhammad bin Hasan Al-Syaibani.



Adapun murid-murid beliau yang terkenal adalah;

- Rabi’ bin Sulaiman bin Abdul Jabbar tokoh hadits dan fiqih, menjadi syaikh muazzin di masjid Fusthath.

- Abu Ibrahim Ismail bin Yahya bin Ismail bin Amr bin Muslim Al-Muzani Al-Mishri.

- Abu Yaqub Yusuf bin Yahya Al-Mishri Al-Buwaithi.

Beliau juga bertemu dengan Imam Ahmad bin Hambal dan saling mengambil ilmu antara keduanya.



5. Karya-karyanya

Imam Syafi’i memiliki karya tulis yang banyak sekali, di antaranya yang paling terkenal adalah:

1. Kitab Al-Umm, Kitab fiqih yang terdiri dari empat jilid berisi 128 masalah dan terbagi ke dalam 40 bab lebih.

2. Kitab Al-Risalah Al-Jadidah, Kitab ini dianggap sebagai induk kitab ushul fiqh yang terdiri dari satu jilid besar yang sudah di-tahqiq oleh Ahmad Syakir.

3. Selain yang dua ini ada beberapa kitab yang dinisbahkan kepada beliau di antaranya kitab Al-Musnad, As-Sunan, Ar-Rad ‘ala Al-Barahimiyah dan Mihnatu Imam Asy-Syafi’i.



6. Wafatnya

Setelah mengalami penyakit wasir yang menyebabkan keluar darah terus menerus, Imam Asy-Syafi’i wafat pada akhir bulan Rajab tahun 204H dan dimakamkan di Mesir. Wallahu ‘A’lam.





DASAR-DASAR IMAM ASY-SYAFI'i DALAM MENETAPKAN AQIDAH

Sebagaimana para ulama salaf lainnya, Imam Asy-Syafi’i membuat beberapa landasan (qaidah) dalam menetapkan qaidah di antaranya adalah sebagai berikut:



Qaidah pertama: Iltizam (komitmen) terhadap Al-Qur’an dan Sunnah dan mendahulukan keduanya dari akal.

Mengambil lahiriyah Al-Qur’an dan sunnah dan menjadikan keduanya sebagai landasan dan sumber dalam menetapkan aqidah islamiyah. Apa yang ditetapkan oleh keduanya maka wajib diterima dan apa yang dinafikan oleh keduanya wajib untuk ditolak, Allah Y berfirman,” Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetappkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”, (QS. 33:36).

Imam Asy-Syafi’i berkata,” Aku beriman kepada Allah Y dan apa yang datang dari Allah Y sesuai yang diinginkan oleh AllahY. Dan aku beriman kepada Rasulullah r dan apa yang datang dari Rasulullah r sesuai dengan apa yang dimaksudkan Rasulullah r ”. [4]



Kedudukan As-Sunnah menurut Imam Syafi’i dan bantahan beliau terhadap orang yang mengingkar sunnah sebagai hujjah.

Imam Asy-Syafi’i berkata,” Semua yang datang dari sunnah merupakan penjelasan dari al-Qur’an. Maka setiap orang yang menerima Al-Qur’an, maka wajib menerima sunnah Rasulullah, karena Allah Y mewajibkan hamba-Nya untuk mentaati Rasul-Nya dan mematuhi hukum-hukumnya. Orang yang menerima apa yang datang dari Rasulullah r berarti ia telah menerima apa yang datang dari Allah Y, karena Dia telah mewajibkan kita untuk mentaatinya”. [5]

Beliau berdalil dengan sejumlah ayat di antaranya firman Allah Y,” Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”, (QS. 4:59).



Bantahan Imam Syafi’i kepada orang yang mengingkari sunnah sebagai hujjah.

1. Allah Y telah mewajibkan kita untuk mengikuti sunnah Rasulullah r dan menyuruh kita mematuhi perintah dan menjauhi larangannya.

2. Tidak ada cara lain bagi kita untuk mentaati perintah Allah Y tersebut kecuali dengan mengamalkan apa yang datang dari Rasulullah r dengan lapang dada dan bersih hati dari keinginan untuk menolaknya, serta pasrah pada perintah dan hukum-hukumnya.

3. Seorang muslim membutuhkan sunnah Rasulullah r untuk menjelaskan globalitas isi Al-Qur’an.



Pandangan Imam Asy-Syafi’i tentang hadits Ahad

Hadits Ahad adalah hadits yang tidak memenuhi semua atau sebagian syarat –syarat hadits mutawattir.[6] Yaitu diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut adat dan logika mereka tidak mungkin berdusta, dan diriwayatkan dari orang banyak dan menyandarkan hadit kepada sesuatu yang bisa dirasakan oleh indera.

Adapun kriteria hadits yang diterima oleh Imam Asy-Syafi’i adalah:

1. Sanadnya bersambung (tidak terputus).

2. Para perawinya adil.

3. Perawinya dhabit (tepat dan sempurna hafalannya).

4. Selamat dari syudzuz (riwayatnya tidak bertentangan dengan riwayat orang lain yang lebih tsiqah).

5. Selamat illat (cacat) yang membuatnya tercela. [7]

Dengan demikian selama hadits itu shahih dari Rasulullah r, maka Imam Asy-Syafi’i akan menerimanya. Ketika ditanya tentang, sebagaimana jawaban beliau ketika ditanya oleh Sa’id bin Asad tentang hadits ru’yah (salah satu hadits ahad), beliau berkata,” Hai Ibnu Asad, hukumlah aku, baik aku hidup atau mati, jika aku tidak mengikuti hadits shahih yang datang dari Rasulullah, sekalipun aku tidak mendengarnya langsung”. [8]

Dengan demikian maka Imam Asy-Syafi’i mewajibkan menggunakan hadits Ahad dalam seluruh perkara agama, dengan tidak ada pembedaan baik dalam masalah aqidah atau lainnya. orang yang menolak hadits ahad tanpa alasan yang dibenarkan, merupakan satu kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. [9]



Qaidah kedua: Menghormati pemahaman sahabat dan mengikutinya.

Imam Asy-Syafi’i berkata,” Selama orang mendapati Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka tidak ada jalan lain baginya selain mengikutinya. Jika keduanya tidak ada, kita harus mengambil ucapan para sahabat atau salah satu dari mereka atau ucapan para imam seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman. Ucapannya lebih patut diambil dari yang lainnya.

Ilmu itu bertingkat-tingkat, di antaranya:

1. Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih.

2. Ijma’ (konsensus/ kesepakatan) para ulama terhadap masalah yang tidak ada ayat atau haditsnya.

3. Ucapan sebagian sahabat yang tidak ditentang oleh seorangpun dari mereka.

4. Ikhtilaf para sahabat dalam masalah tersebut.

5. Qiyas terhadap sebagian tingkatan, tidak boleh mengambil selain Al-Kitab dan As-Sunnah selama keduanya ada, karena ilmu itu hanya diambil dari yang lebih tinggi. [10]



Kenapa harus mengikuti sahabat?

Imam Syafi’i seperti yang dikutip oleh Imam Al-Baihaqi dalam Al-Risalah Al-Qadimah dari Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani, Imam syafi’i berkata,” Allah Y telah memuji para sahabat Rasulullah r dalam Al-Qur’an, Injil dan Taurat. Kelebihan mereka disebutkan oleh Rasulullah r tidak dimiliki oleh seorangpun selain mereka. mereka telah menyampaikan kepada kita sunnah Rasulullah. Telah mendampingi Rasulullah r dikala wahyu diturunkan, sehingga mereka mengetahui apa yang diinginkan oleh Rasulullah, baik yang umum maupun yang khusus, baik perintah, larangan, maupun bimbingan. Mereka telah mengetahui sunnah Rasulullah, sehingga mereka lebih unggul baik dalam ilmu, ijtihad, kewara’an, maupun pikiran. Pendapat mereka lebih baik kita ambil dibandingkan dengan pendapat kita”.

Qaidah ketiga: Menjauhi pengikut hawa nafsu, pelaku bid’ah ahli kalam dan mencela mereka.

Bid’ah secara bahasa berarti mencipta dan mengawali sesuatu. Sedangkan menurut istilah, bidah berarti cara baru dalam agama (yang belum ada contoh sebelumnya) yang menyerupai syariah dan bertujuan untuk dijalankan dan berlebihan dalam beribadah kepada Allah Y. [11]

Imam Syafi’i membagi perkara baru menjadi dua:

1. Perkara baru yang bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar (sahabat) dan ijma’. Ini adalah bidah dhalalah.

2. Perkara baru yang baik tetapi tidak bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar (sahabat) dan ijma’. Ini adalah bidah yang tidak tercela.

Inilah yang dimaksud dengan perkataan Imam Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah mazmumah (tercela/ buruk). Bidah yang sesuai dengan sunnah adalah terpuji dan baik, sedangkan yang bertentangan dengan sunnah ialah tercela dan buruk”. [12]



Hajr (meninggalkan) pelaku bid’ah menurut Imam Asy-Syafi’i

Para Salaf menasihatkan agar tidak banyak bergaul dengan para pelaku bid’ah. Imam Ad-Darimi meriwayatkan dalam sunannya dari Abu Qilabah, beliau berkata,” Janganlah kamu berteman dengan pengikut hawa nafsu dan janganlah kamu berdebat dengan mereka. susungguhnya aku khawatir kalau kamu akan masuk terperangkap ke dalam pemikiran sesatnya atau menjadi ragu tentang apa yang telah kamu yakini”. [13]

Imam Hasan Al-Bashri dan Muhammad bin Sirin juga berpesan,” Janganlah kamu berteman dengan pengikut hawa nafsu, dan jangan kamu berdebat dan mendengarkan mereka. Jangan berteman dengan pembuat bidah, karena akan membuat penyakit di kalbumu”. [14]

Inilah juga mazhab Imam Syafi’i, bahkan beliau meninggalkan Bagdad dan pindah ke Mesir kerena munculnya aliran mu’tazilah yang telah berhasil mempengaruhi negara. Beliau berkata,”Saya tidak akan berdebat dengan seorangpun yang saya yakini bahwa ia tetap dalam kebid’ahannya”. [15]

Imam Asy-Syafi’i bahkan mengkafirkan sebagian pelaku bid’ah yang jelas-jelas sesat seperti orang yang mengatakan al-Qur’an adalah makhluk. Sebagaimana perkataan beliau kepada Hafs Al-Fard yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Imam Syafi’i berkata,” Engkau telah kafir kepada Allah Y”. [16]

Imam Asy-Syafi’i juga berkata,” Jika engkau melihat pengikut hawa nafsu terbang, aku tidak akan percaya kepadanya. sungguh benar perkataan seorang penyair:

“Bila engkau melihat orang bisa terbang, dan berjalan di atas lautan, tetapi ia melanggar batas syariah. Maka, ia adalah orang yang diistidraj dan ia adalah pelaku bid’ah”. [17]

AQIDAH IMAM ASY-SYAFI'i DALAM MASALAH IMAN

Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi, ia berkata,”Saya mendengar Imam Asy-Syafi’i berkata,”Iman adalah ucapan dan perbuatan, ia bertambah dan berkurang”. [18]

Di antara dlalil yang digunakan oleh Imam Asy-Syafi’i adalah firman Allah Y:

ويزداد الذين أمنوا إيمانا

Artinya,” Dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya”, (QS. Al-Muddatsir: 35).

Juga firman Allah Y:

Artinya,” Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal”. (QS. 8:2).

Baca juga firman Allah Y di surat At-Taubah: 124.

Adapun hadits Rasulullah r adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah r bersabda:

الإيمان بضع وسبعون ، أو بضع وستون شعبة ، فأفضلها قول لا إله إلا الله ، وأدناها إماطة الأذى عن الطريق ، والحياء شعبة من الإيمان

Artinya,” Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih cabang atau enampuluh lebih cabang. Yang paling tinggi ialah ucapan La Ilaaha Illallah, sedang yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (sesuatu yang mengganggu) dari jalan dan malu adalah sebagian dari iman”, (HR.Bukhari dan Muslim).

Pendapat Imam Asy-Syafi’i ini sesuai dengan pendapat para sahabat, tabi’in, dan lainnya, sebagaimana perkataan Umar bin Khattab kepada teman-temannya,” Mari kita menambah keimanan kita”. Kemudian mereka berzikrullah. [19]

Pengecualian Dalam Iman

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,”Yang dimaksud dengan pengecualian dalam masalah iman adalah seperti seorang berkata,”Saya seorang mukmin, Insya' Allah Y”.

Tentang masalah ini para ulama berselisih pendapat: ada yang mewajibkannya, ada yang mengharamkannya dan ada yang membolehkannya dan inilah pendapat yang paling shahih”. [20]

Dan pendapat inilah yang diambil oleh Imam Asy-Syafi’i sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Abu Al-Baqa’ Al-Futuhy,” Boleh mengaku beriman dengan pengecualian seperti seorang mengatakan,”Saya beriman Insya' Allah Y”, pendapat ini ditegaskan oleh Imam Ahmad, Imam Asy-Syafi’i dan diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud”. [21]


Perbedaan Antara Islam dan Iman

Ini adalah masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Pendapat mereka terbagi menjadi tiga golongan;

1. Islam dan Iman adalah satu, yang berpendapat seperti ini adalah Imam Al-Bukhari[22], Imam Muh. bin Nashir Al-Marwadzi, [23]Imam Ibnu Mandah [24].

2. Iman dan Islam adalah dua hal yang berbeda. Imam Az-Zuhri berkata,”Islam adalah kalimat atau ucapan, sedangkan iman adalah amal”. Abdul Malik Al-Maimuni bertanya kepada Imam Ahmad, apakah iman dan Islam berbeda?, beliau menjawab,”Ya”, berdasarkan firman Allah Y surat Al-Hujarat: 14.

3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Al-Khattabi dan Ibnu Rajab menyebutkan bahwa apabila iman dan Islam disebut secara terpisah maka keduanya bermakna sama, namun bila disebutkan bersamaan maka keduanya terdapat perbedaan. Iman adalah pengakuan dan keyakinan hati dan pengamalannya sedangkan Islam adalah ketundukan yang tercermin dalam amal.

Berdasarkan beberapa perkataan Imam Syafi’i, maka beliau termasuk yang berpendapat iman dan Islam bermakna satu dan tidak ada perbedaan antara keduanya.

HUKUM PELAKU DOSA BESAR DAN PENGARUHNYA PADA IMAN

Ahlussunnah wal jama’ah memiliki sikap pertengahan antara sikap Khawarij dan Mu’tazilah yang berlebih-lebihan dan sikap Khawarij yang longgar. Khawarij berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar (al-kabirah) menjadi kafir jika tidak bertaubat dan akan kekal di neraka. Mu’tazilah mengatakan mereka akan kekal di neraka dan didunia berada di antara dua posisi yaitu tidak kafir dan tidak mukmin (manzilah bainal manzilatain). Sementara Khawarij mengatakan bahwa orang yang mengucapkan syahadat telah sempurna imannya dan setiap mukmin masuk surga. Dosa tidak berpengaruh terhadap iman sebagaimana ketaatan tidak bermanfaat bersama kekufuran. [25]

Adapun Ahlussunnah mereka berpendapat bahwa dosa besar yang dilakukan seorang mukmin tidak mengeluarkannya dari iman. Bila mereka meninggal sebelum bertaubat, maka ia akan disiksa di neraka namun tidak kekal, bahkan urusan mereka diserahkan kepada Allah, apakah Allah Y menyiksanya atau berkenan mengampuninya. [26] Mereka berdalil dengan firman Allah Y,” Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, Dan Dia mengampuni dosa yang lain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”, (QS. 4:48 dan 116).

Mafhumnya, setiap dosa yang selain dosa syirik berada dalam masyi’ah (kehendak) Allah. jika Allah Y menghendaki untuk mengampuninya, maka Allah Y akan mengampuninya sekalipun pelakunya tidak bertaubat. Sebaliknya bila Allah Y menghendaki untuk menghukumnya, maka Allah Yakan menyiksanya.

Ucapan Imam Asy-Syafi’i tentang dosa-dosa besar selain syirik

Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa ahlul qiblat (kaum mukminin) yang berbuat dosa besar berada di bawah masi’ah Allah. Beliau berkata,” Orang yang lari pada saat pertempuran bukan karena ingin bersiasat dalam menghadapi musuh atau bukan karena ingin bergabung dengan pasukan lain, maka saya khawatir ia mendapat murka Allah, kecuali Allah Y memaafkannya. [27]

Beliau juga berkata,” Dan Allah Y menjadikan akherat sebagai tempat tinggal abadi dan balasan atas amal-amal kebaikan dan kejahatan di dunia jika Allah Y tidak mengampuninya. [28]

Pendapat Imam Asy-Syafi’i di atas didasarkan pada nash-nash al-Qur’an dan sunnah di antaranya firman Allah Y :

Artinya,” Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya.Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”, (QS. 49:9).

Imam Asy-Syafi’i berkata,” Pada ayat ini Allah Y menyebutkan peperangan antara dua golongan, namun tetap dinamakan mukminin dan menyuruh untuk didamaikan dst”. [29]

Hukum Meninggalkan Shalat

Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas harus disuruh taubat, bila tidak mau dia boleh dibunuh karena had (hukuman) bukan karena ia murtad dan sudah menjadi kafir.[30] Pendapat beliau ini bertentangan dengan pendapat Mayoritas ulama baik salaf maupun khalaf yang mengatakan mereka dibunuh karena ia kafir. [31]

Hukum Sihir dan Penyihir

Mengenai masalah sihir dan tukang sihir, Imam Syafi’i memberikan perincian, beliau berkata,” Jika seorang belajar sihir, maka tanyalah ia apakah sihirnya itu?”. Bila sihirnya berisi hal-hal yang menjadikannya kafir seperti meminta bantuan kepada jin dan binatang, maka ia kafir. Bila ia hanya menggunakan bau-bauan (kemenyan) maka tidak kafir tapi sangat diharamkan. Dan bila ia mengakui sihir itu dibolehkan, maka ia juga kafir. Jika tidak menyakini itu boleh maka ia tidak kafir. [32]


Tauhid Uluhiyah

Tauhid uluhiyah menurut Imam Asy-Syafi’i adalah,” Mengesakan Allah Y dalam ibadah, dan ini merupakan hakekat Tauhid. Dan untuk itulah manusia diciptakan, sebagaimana firman Allah Y ,” Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan mansia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”, (QS. Adz-Dzaariyat: 56).

Juga firman Allah Y:

أيحسب الإنسان أن يترك سدى

Artinya,” Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban) (QS. 75:36).

Imam Asy-Syafi’i berkata,” Para ulama tafsir sepakat bahwa yang dimaksud dengan suda dalam ayat ini adalah tidka diperintah dan tidak dilarang”. [33]

Beberapa Masalah Tentang Kubur

1. Talqin

Tidak ada keterangan dari Imam Asy-Syafi’i tentang masalah talqin. yang menganjurkan talqin adalah ulama-ulama Syafi’iyah seperti al-Qadhi Husain, Al-Mutawalli, Al-Rafi’i dan lainnya. mereka berdalil dengan hadits Hadits Umamah yang diriwayatkan oleh Al-Thabrani. Namun hadits tersebut dhaif.[34] Syaikh Al-Albani menyebutkan di antara sebab lemahnya adalah karena dalam sanadnya ada Al-Azdi atau Al-Audi yang tidak tsiqah dan dia majhul. [35]



2. Meratakan Kuburan

Imam Asy-Syafi’i berkata,”Aku menyukai kalau tanah kuburan itu sama (diratakan) dari yang lain, dan tidak mengapa jika ditambah sedikit saja sekitar satu jengkal”.[36]



3. Membangun kuburan dan duduk di atasnya

Imam Asy-Syafi’i berkata,”Aku suka jika kuburan itu tidak dibangun dan disemen, karena hal itu merupakan bentuk perhiasan dan kebanggaan. Saya juga tidak suka kuburan itu diinjak, diduduki atau dijadikan sandaran. Beliau berdalil dengan Sabda Nabi,” Seseorang duduk di atas bara api sehingga pakaian dan kulitnya terbakar, lebih baik baginya daripada duduk di atas kuburan seorang muslim”.(HR.Muslim)[37]



4. Ziarah kubur

Imam Asy-Syafi’i berkata,” Dan boleh melakukan ziarah kubur. Dalam ziarah kubur, janganlah mengucapkan kata-kata kotor yaitu mendoakan jelek kepada mayit dan meratapinya. Tetapi beristigfarlah untuk si mayit”. [38]

Ziarah kubur khusus untuk laki-laki dan Wanita tidak boleh melakukannya berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwasanya Allah Y melaknat wanita –wanita yang menziarahi kubur”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/337-356), Imam At-Tirmidzi no. 1056, Ibnu Majah, no.1576. Tirmidzi mengatakan,”Hadits ini hasan shahih dan memiliki syawahid (penguat) di antaranya adalah:

1. Sanad dari Hassan pada riwayata Ahmad (3/442-443), Ibnu Majah (1574).

2. Dari Ibnu Abbas pada Ahmad (1/229), Abu Daud (3236), At-Tirmidzi (320), AN-Nasa’i (4/94-95) dan Ibnu Majah (1575).

3. Karena banyak jalurnya, maka hadits ini shahih.



Imam An-Nawawi berkata,” Adapun jika tujuannya (ziarah kubur) untuk mendo’akan si mayit atau mengambil ibrah (pelajaran) darinya, maka itu bisa dilakukannya di rumahnya”. [39]



4. Syafaat

Syafaat artinya memohon kepada Allah Y agar Dia mengampuni dosa dan kesalahan orang lain yang diberi syafaat. Syafaat di bagi dua yaitu:

1st. Syafaat yang diakui oleh agama dan bermanfaat bagi pelakunya, yaitu syafaat yang memiliki dua syarat yaitu:

1. Si pemberi syafaat mendapat izin dari Allah Y untuk memberi syafaat, lihat al-Qur’an surat Al-Baqarah: 255, Yunus:3.

2. Orang yang diberi syafaat mendapat ridha dari Allah Y , lihat al-Qur’an surat An-Najm: 26, Al-Anbiya’: 28.

2nd. Syafaat yang tidak diakui oleh agama dan tidak bermanfaat bagi pelakunya karena tidak memenuhi syarat di atas.



5. Ruqyah

Imam Asy-Syafi’i membolehkan ruqyah dengan syarat diambil dari kitabullaah atau zikrullah. [40]


Tauhid Rububiyah
Metode Salaf Dalam Menegakkan Dalil Tentang Wujud Allah Y

1. Fithrah, Allah Y berfirman,” Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. 30:30). Rasulullah r bersabda,” Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani dan Majusi”, (HR.Bukhari dan Muslim).

2. Melalui ayat-ayat kauniyah, yaitu adanya alam semesta menunjukkan adanya Allah Y yang Maha Pencipta.

3. Melalui dalil ‘inayah yaitu dalil yang masih termasuk di bawah ayat-ayat yang membuktikan keesaan Allah Y , misalnya firman Allah Y,” Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur'an itu benar.Dan apakah Rabbmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu”, (QS. 41:53).



Metode Imam Asy-Syafi’i Dalam Menegakkan Dalil Tentang Wujud Allah Y

Imam Asy-Syafi’i bercerita,” Telah berjumpa denganku tujuh belas orang Dzindiq di jalan menuju Ghazah. Mereka bertanya,”Apa bukti adanya Pencipta?”. Aku berkata,”Jika aku mengemukakan bukti yang memuaskan apakah kalian mau beriman?”. Mereka menjawab,”Ya”. Aku katakan,”Daun pohon At-Tut, rasanya, warnanya dan baunya sama. Dimakan oleh ulat yang keluar dari perutnya adalah benang sutera. Dimakan oleh lebah yang keluar adalah madu. Dimakan oleh kambing yang keluar adalah kotoran. Yang dimakan adalah satu jenis maka yang keluar seharusnya juga satu jenis. Tetapi perhatikanlah bagaimana keadaan itu berubah, niscaya itu adalah perbuatan Pencipta Alam yang Maha Kuasa untuk merubah semuanya”.

Beliau juga berkata,” Anda melihat sebuah benteng yang kokoh, tidak memiliki pintu dan celah. Anda melihat dindingnya retak, dan tiba-tiba keluar binatang yang bisa melihat dan bersuara. Anda sadar alam tidak akan mampu melakukannya tetapi Allah Y bisa menciptakannya. Benteng tersebut adalah telur dan binatang tersebut adalah anak ayam”. [41]


Tauhid Asma dan Shifat

Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bab Asma’ (nama) dan sifat Allah Y, yaitu mensifatkan Allah Y dengan sifat-sifat yang telah ditetapkan-Nya untuk diri-Nya atau yang ditetapkan oleh Rasulullah r tanpa ta’wil, takyif (menanyakan bagaimana), tamtsil (mengumpamakan) dan tasybih (menyerupakan), berdasarkan firman Allah Y :

ليس كمثله شيئ وهو السميع البصير

Artinya,” Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”, (QS. 42:11).

Sebagai salah satu dari ulama salaf, Imam Asy-Syafi’i sangat konsisten dengan manhaj salaf dalam masalah ini. Hal ini terlihat di antaranya sebagaimana di awal khutbah kitabnya al-Risalah, beliau berkata,” Segala puji bagi Allah Y sebagaimana Dia mensifati diri-Nya dan atas apa yang disifatkan untuk-Nya oleh makhluk-Nya”. [42]

Di antara Sifat-Sifat Allah Y

1. sifat Al-‘Uluw (ketinggian)

Al-‘Uluw adalah sifat Dzatiah yang tidak terpisah dari AllahY yaitu Dia bersifat tinggi di atas makhluk-Nya, dan Dia berada di Arsy-Nya di langit, sebagaimana firman Allah Y,” Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang”, (QS. 67:16), baca juga surat Fathir: 10, An-Nahl:50, Ali Imran: 55, Al-A’la:1, Al-Ma’arij:4, dll.



2. Istiwa’ (bersemayam)

Istiwa’ adalah sifat fi’liyah yang tetap bagi Allah Y, yaitu Dia bersemayam di atas Arsy, sebagaimana firman-Nya,” Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy”, (QS. 7:54). Baca firman Allah Y surat Yunus: 3, Al-Rad: 2, Thaha: 5, Al-Furqan: 59, As-Sajdah: 4, Al-Hadid:4.



3. An-Nuzul (Turun)

An-Nuzul termasuk di antara sifat Khabariyah fi’liyah yaitu Allah Y turun ke langit dunia pada setiap malam, sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. Imam Asy-Syafi’i berkata,” Sesungguhnya Allah Y di atas Arsy-Nya mendekat kepada makhluk-Nya menurut bagaimana yang Dia kehendaki dan sesungguhnya Allah Y turun ke langit dunia menurut bagaimana yang Dia kehendaki”. [43]

4. Sifat al-Yadd (tangan)

al-Yadd (tangan) termasuk di antara sifat dzatiyah Khabariyah yaitu Allah Y memiliki tangan, sebagaimana firman-Nya,” Allah berfirman:"Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku”, (QS. 38:75). Baca firman Allah Y di Al-Maidah: 64 dan AL-Fath:10.



5. Sifat al-wajh (wajah), lihat firman Allah Y surat Al-Qashash: 88, Al-Rahman: 27 dll.

6. Sifat al-Qadam (kaki), Rasulullah r bersabda,” Kemudian Allah yang Maha Perkasa meletakkan kaki-Nya padanya (neraka), dan ketika itu barulah ia penuh dan saling berdekatan dengan yang lainnya dan berkata,”Cukup, cukup”, (HR.Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).



7. Sifat tertawa, Rasulullah r bersabda,” Allah tertawa kepada dua orang yang salah satunya membunuh yang lainnya dan mereka berdua masuk surga. Yang satunya berperang di jalan Allah kemudian terbunuh, dan Allah menerima taubat dari pembunuh dan masuk Islam dan ia juga mati syahid”. (HR.Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

8. Sifat al-Ashaabi’(jari-jemari), Rasulullah r bersabda,” Tidak ada satu hatipun kecuali berada di antara dua jari di antara jari-jemari Al-Rahman”. (Thabaqat Ibnu Abi Ya’la, I/284, dan Majmu’ Fatawa, 4/182).



9. Sifat al-‘Ain (mata), Allah Y berfirman,” dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku”, (QS. 20:39). juga firman Allah Y surat Al-Qamar: 14, Huud:37, Ath-Thur:48.

10. Sifat al-‘ilmu, Allah Y berfirman,” tetapi Allah mengakui Alquran yang diturunkan-Nya kepadamu. Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya”. (QS. 4:166). lihat juga firman Allah Y surat At-Taubah: 78, Al-Ahzab: 54 dll.



Aqidah Imam Asy-Syafi’i Dalam Masalah Asma dan shifat

Rabi’ bin Sulaiman berkata,”Aku bertanya kepada Asy-Syafi’i tentang sifat Allah Y ”. Beliau berkata,” Terlarang untuk akal mengumpamakan Allah Y, untuk dugaan memberi batasan pada-Nya, untuk yang sangkaan memastikan, jiwa yang memikirkan, hati kecil yang mendalami-Nya, lintasan batin untuk merenungi-Nya dan selain apa yang disifatkan-Nya untuk diri-Nya melalui lisan Nabi-Nya. [44]



Seputar Kenabian dan Kematian



1. Iman Kepada Para Nabi

Maksudnya adalah tashdiq (pembenaran) terhadap kenabian semua Nabi yang diceritakan oleh Allah Y, dan membenarkan apa yang mereka sampaikan dari Allah Y, iman terhadap nama-nama mereka, sifat-sifat mereka, dan pembenaran secara umum tanpa mengingkarinya.

Imam Asy-Syafi’i berkata,” Allah Y menjadikan Nabi sebagai makhluk pilihan di antara makhluk-makhluk-Nya, dan menitipkan amanah wahyu untuk disampaikan dan menegakkan hujjah kepada manusia. [45]



2. Kematian

Diriwayatkan dari AL-Baihaqi dari Imam Asy-Syafi’i beliau berkata,” Adzab kubur itu benar adanya dan pertanyaan yang diajukan kepada penghuni kubur juga benar adanya”. [46]



3. Menghadiahkan Pahala Amal Kepada Mayit

Kalangan Ahlussunnah wal Jamaah sepakat bahwa orang yang telah mati dapat menerima manfaat dari usaha orang yang hidup dalam dua hal:

1st. Hasil usaha mayit ketika hidup yang dapat memberikan manfaat kepada orang lain.

2nd. Amal shalih orang yang masih hidup apabila dilakukan sebagai taqarrub kepada Allah Y kemudian diberikan kepada mayit, akan sampai namun terjadi perbedaan pada sebagian ibadah:[47] .

Imam Asy-Syafi’i dan Imam Malik berpendapat bahwa tidak sampai kepada mayit kecuali apa yang diterangkan oleh dalil tentang pengesahan untuk memberikan hadiah kepada mayit yaitu berbentuk doa, shadaqah, haji dan umrah. Adapun diluar itu tidak sampai kepadanya dan tidak pula disyariatkan perbuatannya dengan niat memberikan hadiah. Itulah pendapat yang masyhur (populer) dari mazhab Imam Asy-Syafi’i dan Imam Malik. [48]

Adapun dalilnya adalah:

1. Sabda Rasulullah,”Apabila mati anak Adam, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal; shadaqah jariyah, anak shaleh yang mendo’akannya dan ilmu yang bermanfaat baginya sepeninggalnya”, (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

2. Hadits Aisyah tentang seorang pria yang datang kepada Rasulullah r dan berkata,”Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ibuku telah meniggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat, saya kira seandainya ia sempat berbicara niscaya akan bershadaqah, adakah baginya pahala jika saya bershadaqah untuknya?. Rasulullah r menjawab,”Ya”. (HR.Bukhari dan Muslim).

3. Hadits Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa seorang wanita dari Juhainah telah datang menghadap Nabi dan berkata,” Ibuku telah bernadzar untuk melaksanka ibadah haji tetapi belum sempat melaksanakan ia telah meninggal dunia, bolehkah aku melaksanakan haji untuknya?. Nabi bersabda,” Berhajilah untuknya! bagaimana menurutmu kalau ibumu memiliki hutang, haruskah engkau melunasinya?. Hutang kepada Allah Y lebih berhak untuk dilunasi (HR.Bukhari).

4. Rasulullah r bersabda,”Barangsiapa yang meninggal dunia masih memiliki kewajiban puasa, maka hendaklah walinya berpuasa untuknya”. (HR.Bukhari dan Muslim dari Aisyah).

Imam Asy-Syafi’i berkata,” Disampaikan pahala kepada si mayit dari tiga amalan orang lain; haji yang dilaksanakan untuknya, harta yang dishadaqahkan atau dilunasi untuknya, dan doa. Adapun shalat dan puasa, itu hanya milik pelaku dan tidak sampai kepada mayit.

Berbeda dengan harta, sesungguhnya seorang mempunyai kewajiban untuk memenuhi apa –apa yang pada harta itu terdapat hak Allah Y yang berupa zakat dan lainnya, karena itu memadai bila dilaksanakan oleh orang lain atas perintahnya.

Adapun doa, sesungguhnya Allah Y telah menganjurkan hamba-hamba-Nya untuk melakukannya dan meminta Rasulullah r untuk melaksanakannya. Maka, apabila dibolehkan berdoa untuk saudara yang masih hidup, berarti boleh pula berdoa untuk yang telah mati. Dan Insya' Allah Y keberkahan akan sampai kepadanya, di samping Allah Y Maha Luas rahmat-Nya untuk memenuhi pahala orang hidup dan menyertakan si mayit dalam kemanfaatannya. Demikian pula setiap kali seseorang bertathawwu’ (shadaqah sunnah) untuk orang lain melalui sedekah tathawwu’”. [49]

Adapun aqidah beliau dalam masalah-masalah di hari kiamat, sebagaimana aqidah salaf yang lain. Beriman kepada kebangkitan, pembalasan, pemeriksaan, hisab, pembacaan tulisan, pahala, siksaan, titian, neraka dan surga, yang merupakan dua makhluk yang tidak akan musnah selamanya. [50]



Aqidah Imam Asy-Syafi’i Seputar Sahabat



Imam Asy-Syafi’i berkata,” Allah Y telah memuji para sahabat Rasulullah r di dalam Al-Qur’an[51], taurat dan injil. Keutamaan mereka telah disampaikan oleh Rasulullah, sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang selain mereka. Maka AllahY menyayangi mereka dan menempatkan mereka setinggi-tinggi derajat, yaitu derajat orang-orang yang jujur, syuhada’ dan orang-orang yang shalih. Merekalah yang menyampaiakn kepada kita sunnah-sunnah Rasulullah r dan menyaksikan wahyu diturunkan kepada Rasulullah. Mereka mengerti apa yang dikehendaki oleh Rasulullah r baik secara umum dan khusus. Mereka mengetahui semuanya yang tidak kita ketahui. Mereka berada di atas kita dalam bidang ijtihad, pengetahuan, wara’, dan lainnya. pemikiran mereka lebih terpuji dan lebih utama untuk kita dari pemikiran yang datang berikutnya. Jika seorang di antara mereka menyatakan pendapatnya dan tidak ada seorangpun yang menyalahkannya, maka kitapun harus mengambil pendapat tersebut”. [52]

Setiap sahabat memiliki kelebihan tersendiri, tapi yang paling utama secara berurutan adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali Radiyallahu Anhum. Imam Asy-Syafi’i menyebutkan,”Semua ulama sepakat tentang ini, yang diperselisihkan hanya mana yang lebih utama Utsman atau Ali”. Beliau juga berkata,” Kita tidak menyalahkan salah seorang di antara kalangan sahabat Rasulullahr pada apa yang mereka kerjakan”. [53]

[1] Manaaqib Asy-Syafi’i, Baihaqi, 1/472.

[2] Ibid, 2/71

[3] Tawaali At-Ta’sis, hal. 51

[4] Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, IV/2, VI/354

[5] Al-Risalah, hal. 32-33.

[6] Syarah Nukhbatul Fikar, Ibnu Hajar AL-Asqalani hal. 4-8.

[7] Syarat-syarat ini sesuai dengan yang ditetapkan oleh ulama hadits, lihat Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, hal. 10, Tadrib Al-Raawi, hal. 22 dan Iamahaat fi Ushul Al-Hadits, hal. 11.

[8] Manaaqib Asy-Syafi’i, I/421.

[9] Al-Risaalah, hal. 459-460.

[10] Kitab Al-Umm, 5/265.

[11] Kitab Al-‘Itisham, I/36

[12] Hilyah al-Auliya’, 9/113, dan Al-Ba’its ‘ala Inkar Al-Bida’, hal. 15.

[13] Sunan Ad-Darimi, 1/108

[14] Al-Bida’ wa An-nahyu ‘anha, Ibnu Wadhdhah, hal. 47.

[15] Manaqib Asy-Syafi’i, Imam AL-Baihaqi, I/175.

[16] Ibid, I/407.

[17] Ibid, I/407.

[18] AL-Manaqib, I/385

[19] Al-Syari’ah, hal. 112

[20] Kitab Al-Iman, hal. 140

[21] Syarah Al-Kaukabul Munir, hal. 417.

[22] Lihat Fathul Bari, I/ 55

[23] lihat Ta’zim Qadri Al-Sunnah, II/506-575.

[24] Lihat Al-Iman, I/321

[25] Lihat Al-Tafsil fi Al-Fashl, Ibnu Hazm, III/ 229-247.

[26] Lihat Syarhu As-Sunnah, Imam Al-Bagawi, I/103

[27] Al-Umm, 4/169, Manaaqib Asy-Syafi’i oleh AL-Baihaqi, 1/328.

[28] Ibid, 4/122

[29] ibid, 4/214

[30] ibid, 1/208

[31] Nailul Authar, Al-Syaukani, 1/376.

[32] Al-Umm, 1/256-257.

[33] Kitab Al-Risalah, hal. 25

[34] Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, 5/304.

[35] Irwa’ Al-Ghalil, 3/203-204

[36] Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi, 2/666.

[37] Al-Umm, 1/277

[38] ibid, 1/278.

[39] Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, 5/309-311

[40] Al-Umm, 7/228.

[41] Mufid Al-Ulum, hal. 26 riwayat seperti ini juga dari Ahmad, lihat Aqidah al-Muslimin, Al-Baihaqi, 1/124.

[42] Al-Risalah, hal. 7-8.

[43] Ijtima’ Juyuus Islamiyah, hal. 94 dan Mukhtashar Al-Uluw, hal. 176.

[44] Majmu’ Fatawa, 4/6.

[45] Al-Umm, 4/159.

[46] Manaqib Asy-Syafi’i, 1/415-416.

[47] Syarah Aqidah Al-Thahawiyah, hal. 452

[48] Syarah Aqidah Al-Thahawiyah, hal. 452 dan Al-Majmu’ , Imam An-Nawawi, 15/521

[49] Al-Umm, 4/120, Manaaqib Asy-Syafi’i, 1/431

[50] Syarah Al-Thahawiyah, hal. 404-405

[51] Sebagaimana firman Allah Y :

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min).Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. 48:29)

[52] Manaaqib Imam Asy-Syafi’i, oleh AL-Baihaqi, 1/442-443.

[53] Ibid , 1/434

http://geocities.com/abu_amman/ImamSyafii.htm


Monday, May 25, 2009

Hukum Bermadzhab

Memang tidak ada perintah wajib untuk bermadzhab secara shariih. Namun bermadzhab itu wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah “Maa yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib,” yaitu apa yang harus ada sebagai perantara untuk mencapai hal yang wajib, maka hal itu menjadi wajib hukumnya.

Misalnya kita membeli air, apa hukumnya? Tentunya mubah saja. Namun bila kita akan shalat fardhu tetapi tidak ada air, dan yang ada hanyalah air yang harus dibeli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air? Dari mubah berubah menjadi wajib tentunya, karena perlu untuk shalat yang wajib.

Demikian pula dalam syariah ini, tidak wajib mengikuti madzhab. Namun karena kita tidak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tidak mengenal hukum ibadah kecuali dengan menelusuri fatwa yang ada pada imam-imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib.

Karena kita tidak bisa beribadah hal-hal yg fardhu/wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya.

Berpindah-pindah madzhab tentunya boleh saja bila sesuai situasinya. Ia pindah ke wilayah Malikiyyun maka tak sepantasnya ia berkeras dengan madzhab Syafi’i. Demikian pula bila ia berada di Indonesia, wilayah madzhab Syafi’iyyun, tak sepantasnya ia berkeras kepala mencari madzhab lain.

Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah memiliki para hafizh al-Hadits, yaitu orang-orang yang telah hafal lebih dari 100 ribu hadits berikut sanad dan hukum matannya. Kita memiliki puluhan Hujjatul Islam, yaitu orang yang telah hafal 300 ribu hadits dengan sanad dan hukum matannya. Setelah itu, barulah para Imam yg lebih lagi dari itu, seperti Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal 1 juta hadits dengan sanad dan hukum matannya, dan beliau adalah murid dari Imam Syafi’i, dan Imam Syafi’i berguru pada Imam Malik, dan Imam Malik hidup sezaman dengan Imam Hanafi, dan mereka belajar dari tabiin, dan tabiin belajar dari sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan sahabat belajar dari Rasulullah saw.

Ilmu mereka mempunyai sanad yg jelas, bukan menukil-nukil dari buku lalu berfatwa seperti Ibn Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Mereka (pengikut wahhabi) ikut saja kemana hawa nafsu mereka mau memilih madzhab semaunya dengan pemahaman yang terbatas.

Suatu hari, ada dua orang teman, keduanya akan pergi ke pasar. Mereka berwudhu bersama, lalu shalat dhuha, lalu pergi ke pasar membeli keperluannya masing-masing. Ketika salah satunya membayar, ternyata penjualnya adalah wanita, dan ia bersentuhan tangan dengan wanita itu. Sesampai di rumah, maka ia shalat tanpa berwudhu lagi, maka temannya berkata: “Kau tidak berwudhu?!” Temannya menjawab: “Aku bermadzhab Maliki!” Lalu temannya menjawab : “Tadi kita berwudhu bersama. Kulihat cara wudhumu adalah cara wudhu madzhab Syafi’i. Kau ini wudhu dengan cara Syafii dan shalat dengan cara Maliki, maka sekarang shalatmu ini tidak sah menurut madzhab Maliki karena wudhumu tak menggosok wajah, dan shalatmu tak sah pula menurut madzhab Syafi’i karena wudhumu telah batal disebabkan bersentuhan dengan wanita non-muhrim!”.

Kesimpulannya, orang yang boleh mengacak dan memilih madzhab ini haruslah seorang Imam dan pakar syariah, ia harus tahu mengenai shalat yang sebenar-benarnya menurut 4 madzhab, lalu wudhunya, lalu hal-hal yang najisnya, karena ada madzhab lain yang mengatakan anjing tidak najis, lalu cara mandinya, lalu auratnya dalam shalat dan akhirnya semua akan saling berkaitan.

Lalu muncul orang di masa kini yang tak punya sanad dalam ilmunya, merujuk dari buku-buku terjemah, tidak tahu hukum-hukum rukun shalat, lalu bicara ingin beramal dengan 4 madzhab? Hal-hal seperti ini tentunya muncul dari kalangan mereka yg belum memahami syariah dengan benar.

(majelisrasulullah.org)

http://hotarticle.org/hukum-bermadzhab/